Mantan Dirut Pelindo II RJ Lino meninggalkan Gedung Bareskrim usai menjalani pemeriksaan di Mabes Polri, Jakarta, Rabu (6/1). RJ Lino diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi pengadaan mobil crane di Pelindo II tahun 2013. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/foc/16.

Jakarta, Aktual.com — Mantan Dirut PT Pelindo Richard Joost Lino, menganggap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melanggar hak asasi manusia karena menetapkan dirinya sebagai tersangka korupsi tanpa ada kerugian negara.

“Dengan ditetapkan sebagai tersangka tanpa ada kerugian negara, merupakan perampasan hak asasi pemohon sesuai UUD 1945 Pasal 28 d Ayat 1,” ujar Maqdir Ismail, kuasa hukum RJ Lino saat membacakan permohonan praperadian di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (18/1).

Saat KPK menetapkan RJ Lino sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan 3 unit Quay Container Crane (QCC) tahun 2010 di PT Pelindo II belum ada kerugian keuangan atau perekonomian negara yang pasti dan nyata.

“Ketika ditetapkan sebagai tersangka, secara pasti belum ada kerugian keuangan negara yang pasti dan nyata jumlahnya,” kata salah seorang kuasa hukum RJ Lino.

Atas dasar itu, langkah KPK menyidik kasus ini tidak sah. Terlebih, hasil audit investigatif BPKP atas pengadaan 3 unit QCC pada tanggal 18 Maret 2011, tidak mencantumkan keterangan terdapat kerugian keuangan atau perekonomian negara.

Hal itu diakui oleh Pelaksana Harian Kepala Biro Hubungan Masyarakat (Plh Kabiro Humas) KPK, Yuyuk Andriati, saat konferensi pers penetapan RJ Lino sebagai tersangka, Jumat, 16 Desember 2015, bahwa kerugian kerugian negara masih dalam penghitungan.

Bukan hanya BPKP, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pun dalam laporan hasil pemeriksaanya, menyatakan tidak ada keterangan yang menyatakan ada kerugian keuangan negara dalam pengadaan 3 unit QCC tahun 2010.

Namun, lanjut pengacara RJ Lino, BPK RI merekomendasikan PT Pelindo II (Persero) agar memberikan sanksi sesuai kebutuhan kepada kepala Cabang Pontianak yang tidak melaksanakan pembangunan power house berdirinya QCC.

Kemudian, memerintahkan kepala Cabang Pontianak dan Palembng untuk melaksnaakan pengomtimalan penggunaan QCC dan untuk segera menyelesaikannya.

“Bahwa menurut hukum, KPK tidak diberikan kewenangan untuk menafsirkan telah ada kerugian negara karena harus menjalankan tugas sesuai UU,” tandasnya.

Selain itu, kerugian keungan atau perekonomian negara dalam tindak pidana korupsi merupakan unsur dan menjadi delik pokok sebagaimana Pasal 2 Ayat 1 dan Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi.

“Tanpa adanya ini, maka tidak sah, sebab sebagaimana dinyatakan dalam putusan MK 003/PUUIV/2004, unsur kerugian negara harus dibuktikan,” tutur dia.

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby