Jakarta, Aktual.com — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menepis dalil tim kuasa hukum mantan Dirut PT Pelindo II, Richard Joost (RJ) Lino dalam sidang lanjutan praperadilan atas penetapan tersangkanya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Kubu RJ Lino menyebut belum memeriksa kliennya sebagai calon tersangka kasus dugaan korupsi pengadan 3 unit Container Crane (QCC) di Pelindo II tahun anggaran 2010.

“Penetapan tersangka atas nama pemohon (tersangka RJ Lino) telah didahului pemeriksaan pemohon sebagai calon tersangka,” kata Kepala Biro Hukum KPK, Setiadi saat membacakan jawaban secara bergantian bersama anggota Biro Hukum KPK lainnya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (19/1).

Dalil kubu RJ Lino yang menyatakan KPK belum melakukan pemeriksaan kliennya sebagai calon tersangka kasus dugaan korupsi QCC adalah tidak benar. Karena KPK menilai pihak pemohon telah keliru membaca dan memaknai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menjadi dasar dalil permohonan, sehingga dengan demikian alasan tersebut harus dikesampingkan.

Biro Hukum KPK menyatakan, pemohon hanya mengacu pada beberapa ketentuan KUHAP, yakni Pasal 1 angka 14 dan Pasal 1 angka 2 yang merupakan kegagalan pemohon dalam memahami sistem hukum acara pidana yang berlaku. Serta melupakan asas umum dan hukum lex specialis derogat leg generalis.

Dalam penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang dilakukan KPK tidak hanya semata-mata berlandaskan pada KUHAP. Namun ada ketentuan khusus sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK dan UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal 39 Ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK berbunyi: “Penyelidikan, penyidikan, penuntutan tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku dan berdasarkan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.

“Oleh karena itu, dalam hal UU yang khusus tersebut telah mengatur yang berbeda dengan apa yang diatur dalam KUHAP, maka ketentuan umum yang terdapat dalam KUHAP harus dikesampingkan,” kata Nur Chusniah.

Biro Hukum KPK meminta kubu RJ Lino untuk memahami kembali putusan MK No. 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 April 2015, agar tidak keliru memaknainya. Selain itu, dalam hukum pidana, tidak dikenal adanya calon tersangka, sehingga tidak mungkin penyelidik atau penyidik membuat BAP calon tersangka.

Atas dasar itu, pemeriksaan terhadap calon tersangka pada tahap penyelidikan, baik kapasitasnya sebagai saksi maupun orang yang memberikan keterangan, harus dimaknai sebagai pemeriksaan calon tersangka sesuai pendapat MK, sehingga menjadi alat bukti yang sah.

Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 Apil 2015 pada dasarnya sejalan dengan Pasal 44 UU Nomor 30 Tahun 2002 untuk menentukan seseorang (calon tersangka) menjadi tersangka harus berdasarkan bukti permulaan yang cukup dan dapat diperoleh di tahap penyelidikan.

Terlebih, KPK telah meminta keterangan dari RJ Lino yang dituangkan dalam Berita Acara Permintan Keterangan pada tanggal 15 April 2014, serta RJ Lino menandatanganinya.

Selain itu, KPK juga meminta konfirmasi dari RJ Lino atas bukti-bukti yang telah diperoleh. Karena pada tahap penyelidikan sudah meminta keterangan dan mengkonfirmasi berbagai alat bukti, maka pada tahap penyidikan, KPK bisa langsung menetapkan status tersangka.

“Sehingga penetapan tersangka oleh termohon (KPK) telah dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi,” papar Nur Chusniah dihadapan majelis.

Atas alasan di atas, KPK menilai penetapan tersangka RJ Lino telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sehingga dalil RJ Lino tentang penetapan status tersangka sudah sepatutnya ditolak atau setidak-tidaknya tidak bisa diterima.

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby