Menteri BUMN Rini Soemarno menyampaikan paparan kinerja BUMN 2015 di Gedung Kementerian BUMN Jakarta, Selasa (19/1). Total pendapatan BUMN dari 118 perusahaan pada 2015 mencapai Rp1.728 triliun atau mengalami penurunan daripada tahun sebelumnya yang mencapai sebesar Rp1.931 triliun. Pada 2016 ditargetkan pendapatan meningkat menjadi Rp1.969 triliun. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/kye/16

Jakarta, Aktual.com — Total Aset BUMN saat ini dikatakan naik tercatat mencapai Rp5.395 triliun, angka ini mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan tahun 2014 hanya sebesar Rp4.577 triliun. Namun, pendapatan BUMN justru turun dibandingkan tahun 2014. Total pendapatan BUMN tahun 2015 hanya sebesar Rp1.728 triliun, pendapatan ini menurun dibanding dengan tahun sebelumnya mencapai Rp1.932 triliun.

Pengamat Ekonomi AEPI menilai roadmap kebijakan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sejauh ini tidak menunjukkan korelasi dengan penguatan perekonomian nasional. Bahkan sangat jauh dari amanat konstitusi.

“Praktik pengelolaan BUMN masih berorientasi pada semangat privatisasi. Selain itu penerapan tata kelola yang baik pun tidak begitu terlihat dalam pengelolaan BUMN selama ini,” ujar Kusfiardi di Jakarta, Jumat (22/1).

Menurutnya, wajar jika banyak kasus yang bisa terjadi di perusahaan BUMN dan berpotensi merugikan keuangan negara. Kasus Pelindo hanya satu kasus saja yang mencuat dan menunjukkan masalah dalam tata kelola BUMN di bawah Menteri Rini Soemarno.

“Sudah sewajarnya kinerja Menteri BUMN Rini Soemarno dinilai buruk. Bahkan bisa dipahami juga jika DPR menolak bekerjasama dengan meneg BUMN,” jelasnya.

Demi kepentingan yang lebih besar, lanjutnya, Presiden harus mempertimbangkan keberadaan pejabat meneg BUMN dalam kabinet. Bagaimanapun nantinya akan mempengaruhi kinerja pemerintahan dan berimbas pada penilaian terhadap kinerja Presiden.

Terkait rekomendasi Pansus Pelindo II yang mencopot menteri Rini, sisi lain DPR akan menggelar RDP dengan menteri Rini. DPR sebagai lembaga politik tentu punya dinamikanya sendiri.

“Presiden yang punya hak prerogatif. Jadi tergantung Presiden juga akhirnya. Penolakan DPR tentunya punya dasar pertimbangan. Jika dalam kontek amanat konstitusi, penolakan itu jadi wajib,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka