Jakarta, Aktual.com – Desakan masyarakat kepada pemerintah untuk menasionalisasi PT Freeport Indonesia masih terus bergulir. Tapi siapa sangka, imbas dari nasionalisasi perusahaan tambang itu bisa membuat Papua lepas dari genggaman Indonesia, bahkan Genosida terhadap Presiden Joko Widodo.
Demikian disampaikan Ketua Umum Muda Visi Mandiri, Nabil Ahmad Fauzi.
Menurutnya, saat ini Indonesia tengah berada dalam titik terendah dalam hal ketahanan energi. Hal itu diyakini berdampak terhadap lemahnya ‘national security’.
“Pertama, tata kelola energi, tidak bisa dilepaskan dari konteks keamanan nasional. Kedua, konsep keamanan nasional kita, apabila kita tidak siap energi, akan jadi titik lemah kita,” papar Nabil, dalam sebuah diskusi di Jakarta, ditulis Minggu (24/1).
Ihwal sengkarut pemerintah dengan PT Freeport Indonesia, ada fakta menarik dari Nabil. Dimulai dari bagaimana Freeport bisa berkuasa di atas bumi Papua.
Ya, AS memang pernah membantu Indonesia menyelesaikan perang melawan Belanda, demi merebut Papua yang dahulu bernama Irian Jaya.
“Banyak sumber meyakini bahwa isu Freeport ini adalah barter dukungan dari tekanan Amerika Serikat (AS) kepada Belanda dan sekutu, untuk tidak melanjutkan proses sengketa Papua antara Belanda dan Indonesia pada 1960, melalui Deklarasi New York,” beber dia.
Dengan dasar perjanjian itu, Nabil menyebut Freeport, atau dalam arti luas AS bisa saja membuat Papua lepas dari NKRI. Hal itu, tutur Nabil, diyakini menjadi bayang-bayang bagi setiap pemerintah yang berkuasa.
“Itu bahkan dianggap bahwa mengusik Freeport berarti kita siap membarter kemerdekaan Papua dengan Freeport, maksudnya dengan kita menasionalisasi Freeport. Ini persoalan yang dibicarakan sebagai hantu, sesuatu yang tidak berwujud tetapi selalu ada dalam alam bawah sadar pengambil kebijakan di negara kita,” terangnya.
Atau bahkan, nasionalisasi Freeport bisa saja menimbulkan gejolak sosial di Papua. Pandangan itu disampaikan dengan bersandar pada perang saudara yang terjadi antara Sudan Selatan dan Sudan Utara, Afrika.
Secara aspek sosial, Sudan Selatan dan Sudan Utara tidak jauh berbeda dengan Indonesia Barat dan Timur. Kalau kita bandingkan, Sudan Selatan adalah daerah yang kaya dengan minyak.
Tetapi disana (Sudan Selatan) punya demografi, etnis yang berbeda dengan Sudan Utara yang Arab dan mayoritas Islam. Sudan Selatan ini, etnis mayoritasnya adalah Kristen dan animisme.
“Kemudian perang kemerdekaan Sudan Selatan itu tidak bisa dilepaskan dari support Amerika dan Israel. Dua pihak yang paling mensupport pemisahan Sudan Selatan dan Sudan Utara,” ujar dia.
Dan apa dampak yang ditimbulkan dari Sudan Utara, Sudan hari ini. Presiden Omar Al Basyir, yang mencoba menjauhkan ‘pengaruh’ asing dari tanah Sudan Selatan, justru dicap sebagai pemicu Genosida di negaranya.
Pengadilan Intenasional Criminal Justice, di Den Haag, sudah memerintahkan seluruh pihak untuk menangkap Omar, dengan dalih genosida pelanggaran HAM.
Kemungkinan itu pun mungkin saja bisa terjadi di Papua. Pasalnya, situasi hari ini di Papua itu sudah terkepung. Ada pangkalan Amerika di Guam, hanya di utara dari Papua, di atas Filipina. Kemudian di selatan, Barack Obama sudah mematok pasukan marinir di Darwin, Utara Australia.
“Kalau cara pandang ‘security isue’, isu keamanan itu isunya realis, pesimis. Karena kita melihat aspek-aspek kemungkinan terburuk,” pungkas Nabil.
Artikel ini ditulis oleh: