Jakarta, Aktual.com — Himpunan Gambut Indonesia (HGI) meminta agar kegiatan restorasi gambut di Indonesia tidak bergantung pada hibah dari negara asing namun sebaiknya memanfaatkan sumber dana mandiri yang berasal dari pemerintah serta kontribusi perusahaan berbasis sumber daya alam (SDA).
HGI menyatakan kebutuhan dana sekitar 1 miliar dolar AS seharusnya bisa ditalangi oleh industri kelapa sawit, HTI serta industri lain yang selama ini memanfaatkan gambut.
“Bantuan asing justru harus dihindari agar Indonesia tidak terus didikte kepentingan pihak manapun. Bantuan asing hanya akan merusak citra Indonesia sebagai bangsa yang tidak bertanggung jawab di mata internasional,” ujar Ketua HGi Supiandi Sabiham di Jakarta, Senin (25/1).
Menurut dia, keterlibatan perusahaan membantu restorasi gambut sejalan dengan amanat Wakil Presiden Jusuf Kalla saat pembukaan konferensi minyak sawit Indonesia ke-11 di Nusa Dua, Bali, akhir tahun lalu. Wapres meminta perusahaan harus berpartisipasi bersama untuk merestorasi hutan dan gambut yang rusak.
Supiandi berpendapat, dalam beberapa kasus, pengelolaan gambut lestari yang diterapkan industri di Indonesia kerap menjadi rujukan oleh pakar gambut dunia, sayangnya, kegiatan positif ini kurang disosialisasikan.
“Padahal cukup banyak perusahaan di Indonesia yang mengelola konsesinya secara lestari,” katanya.
Pengamat lingkungan dan kehutanan Ricky Avenzora mengatakan perusahaan perkebunan serta kehutanan sudah sejak lama merestorasi kawasan-kawasan hutan yang rusak dan terbengkalai.
Kawasan terbengkalai yang dulu tidak diperhatikan dan “diributkan”, tambahnya, kini telah berhasil diubah serta menghasilkan triliunan rupiah devisa negara bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Saat ini, lebih dari 6 juta jiwa menggantungkan hidup dari industri sawit.
“Kalau per orang menghidupi tiga anggota keluarga, berarti lebih dari 20 juta jiwa hidup dari sektor kelapa sawit. Belum kita hitung yang dari sektor HTI,” katanya.
Ricky berpendapat, pembentukan Badan Restorasi Gambut (BRG) adalah wujud kegagalan bersama dalam menjalankan semangat revolusi mental di sektor kehutanan dan lingkungan.
Pemerintah punya peran dalam kegagalan itu, tambahnya, salah satunya merevolusi mental untuk belajar secara cepat tentang masalah kehutanan dan konservasi alam serta restorasi gambut di Indonesia.
“Pemerintah juga gagal untuk memberantas para mafia konspirasi ekonomi global beserta para mafia donor dan LSM yang mengkhianati bangsa sendiri melalui isu lingkungan,” katanya.
Ricky menambahkan, akademisi juga gagal dalam mengubah pola sikap mereka dari pasif menjadi pro aktif dalam menyuarakan objektivitas keilmuan secara lantang guna memberi peringatan tentang bahaya suatu kebijakan.
“Tidak sedikit dari akademi yang justru menjadi “penikmat rente” dana lingkungan melalui jabatan expertise pada berbagai institusi LSM hipokrit dan berbagai international development agency,” katanya.
Artikel ini ditulis oleh:
Antara
Eka