Jakarta, Aktual.co — Pemerhati ekonomi politik Ichsanuddin Noorsy mendukung wacana penggabungan (holding) dua BUMN migas yaitu PT Pertamina (Persero) dan PT Perusahaan Gas Negara (Persero). Noorsy menilai hal itu dapat menjadi solusi penyediaan infrastruktur gas nasional dan lebih efisien ketimbang menjadikan dua perusahaan pelat merah tersebut sebagai agregator gas nasional yang justru akan menimbulkan inefisiensi baru di sektor migas nasional.
“Investor justru akan menjauh karena sistemnya berbelit. Sebaiknya sistem permigasan kita harus lebih simple dan jelas. Jangan kelewat banyak BUMN entah itu namanya agregator. Cukup pemerintah yang memegang kebijakan dan regulator, enggak bentuk baru. Ditjen Migas harus diperkuat, bukan bentuk lembaga baru,” kata Noorsy di Jakarta, Jumat (5/6).
Ichsanuddin beralasan, saat ini infrastruktur gas di Indonesia masih sangat minim, terlebih untuk kebutuhan rumah tangga. Ketergantungan rumah tangga terhadap elpiji harus dihentikan jika elpiji terus menerus diimport.
“Di perut bumi nusantara ini, cadangan gasnya besar. Tapi komponen gas elpiji C3 dan C4 hanya 5-10%. Sementara 90%-95% itu berupa C1 dan C2. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa sedianya rumah tangga seharusnya tidak lagi mengandalkan gas elpiji. Namun harus diandalkan dari gas perut bumi lewat jaringan gas (jargas). Jadi ke rumah tangga dialirkan lewat pipa,” tambahnya.
Sayangnya, sambung dia, saat ini Indonesia masih dihadapkan oleh minimnya pipa gas untuk menyalurkan gas ke rumah tangga yang sejatinya tugas PGN untuk menyediakannya. Sayangnya, pipa gas tersebut tak tertangani oleh BUMN gas tersebut lantaran telah diswastakan sekitar 43%.
“Solusinya, PGN dan Pertamina harus holding. Bila perlu, saham swasta harus dibuyback (beli kembali) pemerintah sehingga pemerintah bisa menyuruh PGN bangun infrastruktur gas. Pemerintah juga bisa pakai APBN untuk bangun infrastruktur gas, lalu pengoperasian bisa ke PGN,” tandasnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka