Jakarta, Aktual.com — Kebijakan penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi di awal tahun ini ternyata tak otomatis menggenjot daya beli masyarakat. Pasalnya, harga-harga barang masih tinggi, sehingga publik tidak mampu menjangkaunya. Inilah bukti pemerintah kurang mampu menjaga stabilitas harga dengan baik.
“Tidak semudah itu mengatakan, kalau (harga) BBM turun akan meningkatkan daya beli masyarakat. Karena harga juga tetap tinggi,” kritik CEO MNC Group, Hary Tanoesoedibjo di Jakarta, Selasa (26/1).
“Pemerintah tidak bisa melihat seperti itu. Karena turun di sini (BBM) tapi naik di tempat lain (harga pangan),” imbuhnya.
Menurut dia, justru yang dihadapi tahun ini oleh pemerintah itu lebih sulit dari tahun sebelumnya. Karena penurunan ekokomi dunia masih membayangi Indonesia. Daya beli masyarakat yang selama ini menjadi tumpuan pertumbuhan, jika harga-harga masih tetap tinggi, maka akan rendah juga.
“Apalagi harga minyak dunia juga turun terus. Berdampak pada turunnya harga kelapa sawit dan batubara. Sehingga industri yang down size. Maka pemerintah harus kreatif agar pertumbuhan juga bisa dijaga,” sarannya.
Meski begitu, dia yakin, laju inflasi tidak akan jauh berbeda dari tahun lalu. Akan tetapi inflasi yang rendah ini bukan berarti pemerintah berhasil mengendalikan laju inflasi. Justru karena daya beli masyarakat rendah akibat harga pangan yang sudah melambung tinggi.
“Karena daya beli sendiri sudah turun. Maka inflasi bisa jadi tetap bertahan di angka seperti tahun lalu. Jadi kebijakan pemerintah ini tidak komprehensif, penurunan harga BBM tidak diimbangi dengan pengendalian harga pangan (BBM),” pungkas dia.
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan