Jakarta, Aktual.com — Komisaris BUMN PT Hotel Indonesia Natour (HIN) Michael Umbas mengungkap adanya kongkalikong dalam kontrak Build, Operate, Transfer (BOT) antara BUMN PT HIN dengan PT Cipta Karya Bersama Indonesia (CKBI)/ PT Grand Indonesia (GI).
Demikian dikatakan Michael dalam keterangan tertulis yang diterima, Selasa (2/2). Ia mengakui kejanggalan tersebut ditemukan sejak ia menjabat sebagai anggota dewan komusaris pada bulan November 2015.
Ia menjelaskan, dalam kontrak BOT yang ditandatangani 13 Mei 2004, disepakati empat objek fisik bangunan di atas tanah negara HGB yang diterbitkan atas nama PT GI yakni Hotel Bintang 5 (42.815 m2), pusat perbelanjaan I (80.000 m2), pusat perbelanjaan II (90.000 m2) dan fasilitas parkir (175.000m2).
Namun, dalam berita acara penyelesaian pekerjaan tertanggal 11 Maret 2009, ternyata ada tambahan bangunan yakni gedung perkantoran (Menara BCA) dan apartemen (Kempinski) yang tidak tercantum dalam perjanjian BOT dan belum diperhitungkan besaran kompensasi ke PT HIN.
Menurut Michael, kondisi ini menyebabkan PT HIN kehilangan memperoleh kompensasi yang lebih besar dari penambahan dua bangunan yang dikomersilkan tersebut.
Pembangunan dua gedung itu memiliki nilai ekonomis yang cukup besar sehingga setara dengan rencana objek BOT lainnya yang disepakati. Penambahan dua gedung ini mestinya diajukan sejak awal perencanaan dan tercantum dalam objek BOT. Hal ini jelas tidak sesuai TOR dan perencanaan awal yang disetujui kementerian BUMN.
Selain itu, PT GI juga tidak kooperatif dan transparan dalam menyampaikan laporan pemeliharaan, tidak memberi rincian nilai biaya pemeliharaan. Seharusnya alokasi biaya pemeliharaan sebesar 4 persen dari nilai pendapatan pengelolaan obyek BOT, namun PT GI tidak pernah transparan terkait nilai keuntungannya dan ini berpotensi kerugian bagi PT HIN yang akan menerima objek BOT di kemudian hari.
“Masih ada sejumlah hal lain yang juga kami temukan dan sedang didalami, seperti besaran nilai kompensasi, pengalihan sepihak penerima BOT dari PT CKBI ke PT GI, terjadi pengagunan HGB ke Bank, serta yang cukup serius, terkait opsi perpanjangan BOT 20 tahun pada tahun 2010 dengan kompensasi tidak maksimal dan dilakukan jauh sebelum masa kontrak 30 tahun berakhir,” jelas Michael.
Dia tegaskan, fakta-fakta di atas tadi jelas memberi dampak kerugian yang besar bagi PT HIN selaku korporasi. Sebagai komisaris yang baru ditugaskan di PT HIN, Michael menilai harus ada langkah-langkah penyelamatan aset negara sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
“Kami berpendapat, dalam hal ini tentu negara selaku pemilik BUMN PT HIN tidak boleh kalah. Sehingga tidak boleh lagi ada upaya pembiaran dan pengabaian terhadap hal-hal yang menyebabkan potensi kerugian negara secara berulang-ulang dan terjadi secara kasat mata,” pungkas koordinator relawan pemenangan Presiden Joko Widodo ini.
Artikel ini ditulis oleh: