Jakarta, Aktual.com — Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Sudirman Said merasa kesal didesak pertanyaan soal isu bahan bakar minyak (BBM) dan PT Freeport Indonesia.

Ketika para wartawan menanyakan soal BBM premium yang disarankan Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama akan dihapus di DKI serta terkait isu BBM non subsidi jenis solar untuk industri yang lebih murah dari BBM subsidi, Sudirman bungkam.

“Saya tidak mau komentar apa pun. Hari ini hanya soal OJK (Otoritas Jasa Keuangan),” tandas Sudirman seusai menandatangani MoU dengan OJK terkait pembiayaan di sektor energi, di Gedung OJK, Jakarta, Rabu (3/2).

Bahkan ketika dicecar terus dan semakin banyak dikerumuni wartawan, dia mulai terlihat kesal. “Jangan desak-desakan dong. Gak enak ini,” cetus dia agak kesal.

Sikap demikian dirasa kurang tepat di mata publik. Padahal isu-isu tersebut mestinya juga bisa menjadi konsumsi publik tidak bisa ditutupi. Seperti terkait soal izin konsentrat Freeport. Saat ini pemerintah dapat apresiasi karena melarang Freeport untuk ekspor. Tapi kebijakan itu harus dapat konsisten dan jangan cepat berubah sehingga malah keluar lagi kebijakan yang menguntungkan Freeport.

“Mestinya, minimal secara diplomatis, dia (Menteri Sudirman) dapat menjawab seluruh permasalahan yang terkait kebijakannya. Tidak diam,” sebut pengamat hukum sumber daya alam dari Universitas Tarumanegara, Ahmad Redi kepada Aktual.com, Rabu (3/2).

Menurut Ahmad Redi, pada dasarnya sekalipun masih dalam tahap perumusan suatu kebijakan, tetap secara diplomatis seorang pejabat publik harus berkomentar.

“Dia tetap harus menjawab bahwa permasalahan penurunan harga BBM bersubsidi dan hilirisasi Freeport masih dalam tahap pengkajian secara teknis. Tapi komentar dia tetap perlu,” sambunya.

Lebih lanjut Redi menyebutkan, awalnya publik mengapresiasi pemerintan yang melarang izin ekspor konsentrat Freeport.

“Artinya Pemerintah sudah konsisten dengan Pasal 170 UU Minerba dan PP No. 1 Tahun 2014,” kata dia.

Meski pun, ia tetap menyorot, selama ini Pemerintah telah memberikan kesempatan kepada PT FI untuk ekspor konsentrat pasca 12 Januari 2015. “Sehingga akibat kebijakan tersebut Pemerintah bisa dianggap melakukan pelanggaran hukum,” tandasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka