Jakarta, Aktual.com — Ketika embrio Negara Kesatuan Republik Indonesia dibentuk lewat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), anggotanya terdiri dari berbagai suku bangsa, agama, ras, maupun antar-golongan. Antara lain tokoh Arab (Baswedan), tokoh peranakan Belanda (PF Dahler), dan empat orang tokoh peranakan Tionghoa.

Mereka adalah Oei Tjong Hauw, Oei Tiang Tjoei, Liem Koen Hian, Tan Eng Hoa, dan Yap Tjwan Bing. Nama terakhir juga masuk dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Pada awal kemerdekaan Indonesia sampai berakhirnya pemerintahan Bung Karno, ada enam orang tokoh Tionghoa yang duduk dalam pemerintahan. Mereka adalah: Ong Eng Die, Mohammad Hasan, Oei Tjoe Tat, David Chen Chung, Lie Kiat Teng (Mohammad Ali), Tan Po Gwan.

Peran politik warga Tionghoa bukan hanya dalam kabinet, namun dalam diplomatik politis, terdapat nama seperti: Dr Tjoa Siek In, yang ditunjuk pemerintah Indonesia dalam perundingan Renville.

Begitu pula Dr Sim Kie Ay yang oleh pemerintah ditunjuk sebagai anggota delegasi Republik Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag. Hasil dari KMB adalah dibentuknya Pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS).

Pada masa Demokrasi Parlementer, tahun 1950-1959, minimal ada delapan orang peranakan Tionghoa menjadi anggota legislatif, yaitu: Tan Po Gwan, Tjoa Sie Hwie, Tjung Tin Jan, Tan Boen Aan, Teng Tjin Leng, Siauw Giok Tjhan, Tjoeng Lin Sen (diganti Tio Kang Soen), dan Yap Tjwan Bing (diganti Tony Wen atau Boen Kim To).

Mengenai keturunan Tionghoa, tahun 1950 pemerintah RI membuka hubungan diplomatik dengan pemerintah RRT dan mulai mengadakan pembicaraan mengenai masalah dwi-kewarganegaraan RI-RRC.

Hal ini disebabkan karena UU kewarganegaraan RRT menerapkan asas ius sanguinis, sementara UU kewarganegaraan RI menerapkan asas ius soli, sehingga terjadi kewarganegaraan ganda bagi sebagian warga Tionghoa di Indonesia. Artinya secara hubungan darah sebagai warga negara RRT, namun dari sisi kelahiran sebagai WNI.

Nota perjanjian ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri RI Sunario dan Perdana Menteri RRT Chou En-Lai di Bandung 22 April 1955. Pelaksanaan perjanjian dwi-kewarganegaraan itu dimulai tanggal 20 Januari 1960 sampai dengan 20 Januari 1962.

Dwi Kewarganegaraan “Bencana kewarganegaraan” bagi etnis Tionghoa mulai muncul ketika Pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 tahun 1959 tanggal 16 Nopember 1959 atau dua bulan menjelang berlakunya pelaksanaan perjanjian dwi-kewarganegaraan RI-RRT.

Perpres itu berisi larangan bagi usaha perdagangan kecil dan eceran yang bersifat asing di luar ibu kota daerah Swatantra tingkat I dan II serta Karesidenan.

Yang dimaksud dengan “perusahaan perdagangan kecil dan eceran yang bersifat asing” adalah yang tidak dimiliki oleh warga negara Indonesia. Yang terjadi di lapangan adalah, hampir semua etnis Tionghoa diusir dari wilayah desa maupun kecamatan untuk menuju daerah swatantra tingkat I dan II.

Saat perjanjian dwi-kewarganegaraan dilaksanakan (Januari 1960 – Januari 1962), mereka diberikan dokumen “Exit Permit Only” (EPO) untuk meninggalkan Indonesia.

Tidak semua pemegang exit permit only dapat meninggalkan Indonesia, karena konon pemerintah RRT hanya mengirim dua kapal.

Dari waktu ke waktu, exit permit only ini dikonversi menjadi dokumen asing seperti Surat Pendaftaran (SP), Surat Tanda Pelaporan (STP), Pendaftaran Orang Asing (POA), Keterangan Izin Menetap Sementara (KIMS), dan lain-lain.

Dalam tahun-tahun berikutnya, diterbitkan Keputusan Presiden Nomor 52 tahun 1977 tentang Pendaftaran Penduduk, kemudian ditindaklanjuti oleh Peraturan Menteri Kehakiman Nomor J.B.3/4/12 tahun 1978 yang menyatakan bahwa “untuk lalu lintas sehari-hari diperlukan SBKRI dalam bentuk yang ringkas, jelas, dan mudah dikenal oleh umum”, maka ada kewajiban bagi warga peranakan Tionghoa untuk memiliki SBKRI. (Inilah cikal bakal munculnya persyaratan SBKRI).

Peraturan Menteri Kehakiman tersebut ditindaklanjuti pelaksanaannya dengan Surat Edaran Menkeh Nomor JHB.3/31/3 tahun 1978 kepada semua Pengadilan Negeri maupun kepala perwakilan RI di luar negeri.

Intinya “mewajibkan” para peranakan untuk memiliki SBKRI, dan dalam praktik hanya peranakan Tionghoa. Fenomena ini menjadi berkepanjangan karena untuk pengurusan surat-surat selalu dipersyaratkan SBKRI.

Masalah kewarganegaraan inilah yang hari demi hari, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun masih berbuntut hingga hari ini. Kenapa? Karena para pemukim pemegang EPO beserta keturunannya dianggap menjadi asing walaupun secara turun-temurun mereka lahir di Indonesia.

Peristiwa Gerakan 30 September 1965 membawa dampak buruk bagi warga Tionghoa secara keseluruhan. Karena pada umumnya warga Tionghoa dianggap sebagai simpatisan organisasi Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki), dan dugaan bahwa Baperki sangat dekat dengan Partai Komunis Indonesia yang dituduh melakukan kudeta dengan gerakan G-30-S tersebut, akibatnya praktis sejak itu tidak ada yang berani membicarakan masalah status kewarganegaraan mereka.

Akibat lain yang ditimbulkan antara lain adalah dibubarkannya organisasi-organisasi yang identik dengan etnis Tionghoa, seperti Chung Hwa Hui (CHH), juga sekolah-sekolah Tionghoa, dan lain-lain.

Peran tokoh Tionghoa Lie Siong Tay dan Njoo Han Siang pada akhir tahun 1960-an menciptakan sarana komunikasi (semacam Informal Konghwe) dan melakukan pendekatan kepada pihak pemerintah agar ada saluran untuk mencairkan “ketakutan” yang dialami warga Tionghoa itu.

Dalam perkembangannya, kedua tokoh ini mengajak Liem Sioe Liong, William Soeryadjaya, tokoh muda ketika itu seperti K Sindhunatha, Harry Tjan Silalahi, dan lain-lain untuk mendesak pemerintah menyelesaikan masalah status kewarganegaraan.

Desakan demi desakan akhirnya membuahkan hasil. Pemerintah menerbitkan kebijakan-kebijakan, yaitu: (1) Instruksi Presiden Nomor 2 tahun 1980, menyelesaikan +/- 500.000 pemohon di lima wilayah yaitu Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Sumatera Bagian Selatan, Riau, dan Jabotabek.

Kepedulian dari para tokoh senior ini cukup konsisten yang kemudian diteruskan generasi selanjutnya seperti Murdaya Poo, Osbert Lyman, Anthony Salim, Anton Setiawan, dan lain-lain hingga terbit Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.

Tidak ada salahnya Pemerintah memberikan apresiasi atas perjuangan kemanusiaan dari para tokoh lintas etnis dan agama ini, terhadap apa yang telah mereka rintis dan perjuangkan di bumi Indonesia. (Sumber: Penulis adalah pemerhati masalah Tionghoa dan peneliti senior Institut Kewarganegaraan Indonesia, tinggal di Jakarta.)

Artikel ini ditulis oleh:

Antara