Jakarta, Aktual.co — Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perbankan dan Finansial Rosan P Roeslani menilai pemerintah harus selektif dalam mengajukan dan menerima pembiayaan asing dalam proyek pembangunan di Tanah Air.
“Saat ini, pemerintah terlihat menyerahkan porsi terbesar pembangunan infrastruktur nasional ke pihak asing melalui kerja sama bilateral. Pembiayaan pembangunan yang berasal dari kerja sama bilateral memiliki persyaratan menggunakan barang atau jasa dari negara pemberi pinjaman. Konsekuensinya adalah konten impor dalam pembangunan nasional semakin deras,” ujar Rosan saat jumpa pers di Jakarta, Kamis (4/6).
Untuk periode 2015-2019, pemerintah mengajukan pinjaman senilai 23 miliar dolar AS dari pihak asing oleh Kementerian PU dan Perumahan Rakyat dan ditambah kementerian lain sebesar 34 miliar dolar AS.
Skema pembiayaan seperti itu berdasarkan data Bappenas 2010 telah meningkatkan biaya pengadaan hingga mencapai 30 persen. “Akibatnya, upaya pemerintah membangun industri penunjang sulit terwujud,” kata Rosan.
Syarat dan ketentuan dari kerja sama bilateral antarnegara sendiri menurutnya berbeda-beda. Misalnya pinjaman lunak yang diberikan Jerman dengan periode pembayaran kembali selama 30 tahun harus dengan konten barang pemberi pinjaman mencapai 85 persen, sementara dari Jepang penggunaan konten pemberi pinjaman mencapai 30 persen.
Rosan menilai selain dengan kerja sama bilateral, pembiayaan infrastruktur juga dapat dibiayai melalu sejumlah potensi pendanaan dalam negeri seperti perbankan, industri keuangan non bank, pengelolaan dana haji, BPJS Kesehatan, dan bank infrastruktur.
“Selama ini, likuiditas perbankan di Indonesia terbatas karena rendahnya rasio dana pihak ketiga terhadap PDRB, akibatnya dana yang tersedia untuk pembiayaan usaha terbatas karena rasio penyaluran kredit terhadap dana simpanan (LDR) sudah tinggi,” ujar Rosan.
Artikel ini ditulis oleh: