Ratusan warga eks Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) turun dari KRI Teluk Banten 516 di Dermaga Mako Kolinlamil, Jakarta, Rabu (27/1/2016). Sebanyak 712 warga eks Gafatar dipulangkan dari Pontianak ke Jakarta, untuk kemudian dikembalikan ke daerah masing-masing di Sumatra, Jawa Barat dan Banten.

Jakarta, Aktual.com — Kepala Bareskrim Polri Komjen Anang Iskandar mengaku prihatin terhadap anak-anak dari anggota Gafatar, yang menjadi korban terkait dengan kegiatan orang tuanya.

Menurutnya, hal itu merupakan pelanggaran Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yakni pelanggaran atas hak anak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi.

“Anak-anak adalah masa depan bangsa, aset bagi eksistensi negara Indonesia. Sudah seharusnya orang tua membimbing anak-anak mereka sesuai dengan falsafah dan aturan mendasar dari bangsa ini,” ujar Anang di Bareskrim Polri, Jakarta, Kamis (4/2).

Anang mengungkapkan keprihatinannya atas fakta lain yaitu anak-anak dari anggota Gafatar dilarang untuk duduk di bangku sekolah. Dengan adanya fakta tersebut, lanjut dia, bahwa pelanggaran terhadap hak anak khususnya anak-anak dari anggota Gafatar ini tidak boleh dibiarkan.

“Saya bisa merasakan bagaimana keinginan kuat untuk sekolah sementara realitas menguji saya. Untuk bisa mencapainya, dulu saya mesti berjibaku dengan kehidupan agar bisa menikmati bangku sekolah.”

“Nah, sekarang, saat jaman sudah lebih maju dan kemudahan akses pendidikan lebih terbuka, ada orang tua yang melarang anaknya untuk sekolah. Hati saya tidak bisa menerimanya,” sambungnya.

Kasus Gafatar hingga saat ini memang masih dilakukan pendalaman oleh Bareskrim Polri. Pendalaman atas kasus ini tentu saja membutuhkan waktu, karena persoalan Gafatar adalah masalah yang mesti dilihat dan dikaji dari berbagai sisi.

Bahkan, mesti melibatkan instansi lain, tentu sesuai dengan tupoksinya masing-masing. Kasus sejenis Gafatar ini tercatat juga pernah terjadi beberapa waktu lalu.

Data menyebutkan salah satu kasus yang sempat menggegerkan masyarakat, saat Sensen Komara ingin mendirikan Negara Islam Indonesia (NII). Sensen Komara divonis bersalah pada 2011 silam atas perbuatan makar dan penistaan agama dalam sidang vonis yang berlangsung di Pengadilan Negeri (PN) Garut, Jawa Barat (Jabar).

“Lagi-lagi, dalam setiap kasus-kasus sejenis ini, anak-anak menjadi korban dari ego orang dewasa,” tutup mantan Kapala BNN jebolan Akpol 1982 itu.

Artikel ini ditulis oleh:

Wisnu