Jakarta, Aktual.co — Pengamat energi Yusri Usman menilai bahwa rekomendasi Tim Reformasi Tata Kelola Migas (RTKM) tidak bergigi dan masih belum memberikan perubahan yang signifikan terhadap tata kelola migas di Indonesia.
Menurutnya, prinsip utama dari semua rekomendasi yang dikeluarkan Tim yang dipimpin Faisal Basri itu mampu membuat proses bisnis dan tata kelola migas jadi transparan, akuntabel, serta tidak ada diskriminasi terhadap semua pihak. Sayangnya, rekomendasi itu tidak mampu menjawab harapan tersebut.
“Sekarang pengadaan BBM dan minyak mentah telah dilakukan semuanya di ISC Pertamina, tapi apakah prosesnya sudah benar? Apakah sudah dilakukan secara transparan dan fair?” kata Yusri di Jakarta, Kamis (4/6).
Ia menambahkan, meski beberapa rekomendasi sebenarnya ditujukan untuk pembenahan di Pertamina, sejatinya rekomendasi tersebut semestinya dapat dijalankan menteri ESDM. Oleh sebab itu, Kementerian ESDM dan jajarannya harus mampu mengontrol pelaksanaan rekomendasi Tim Reformasi, apakah telah benar dijalankan oleh Pertamina dan pihak-pihak terkait atau tidak.
“Namun, fungsi kontrol tersebut nyatanya tidak dijalankan optimal,” ujarnya.
Sementara, Pengamat Migas dari Asosiasi Ekonomi-Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng mengingatkan Pemerintah agar tidak menjadikan rekomendasi Tim RTKM sebagai landasan dalam menentukan kebijakan sektor Energi. Dikatakannya, masalah di sektor migas sangatlah kompleks maka dari itu negara tidak bisa selalu mengacu rekomendasi tim RTKM.
“Karena ada acuan lain yang lebih utama, yaitu putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Karena itu bersifat final dan legal. Tim RTKM hanyalah lembaga outsourcing yang dibikin Sudirman Said (Menteri ESDM). Tidak bisa dimintai pertanggungjawaban secara hukum. Rekomendasi tim tidak bersifat mengikat,” terang dia.
Lanjutnya, seharusnya Presiden Jokowi lebih melihat putusan MK dalam melakukan reformasi tatakelola sektor migas.
“Membubarkan BP migas, dan kemudian digantikan secara ilegal dengan adanya SKK migas oleh SBY. Seharusnya SKK migas dibubarkan. Transaksi Rp400 triliun per tahun. Mestinya SKK migas ini yang dibubarkan lebih awal. Baru keputusan MK ini diikuti perubahan UU Migas,” imbuh dia.
“Kami merekomendasikan kembali ke UU nomor 8 tahun 1971, lebih jelas posisi negara dan posisi Pertamina,” tutupnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka