Jakarta, Aktual.com — Perdebatan terkait opsi pengembangan blok Masela akhir-akhir ini terus ramai diperbincangkan oleh berbagai kalangan. Pada umumnya, ada dua konsep yang menjadi perdebatan yang nantinya akan diterapkan pada pengelolaan blok Masela, yaitu konsep FLNG dan OLNG.

Presiden Direktur PT Badak NGL, Bontang, Salis SA mengungkapkan, perdebatan mengenai konsep FLNG atau OLNG sudah dianggap basi, pasalnya, kedua konsep tersebut tidak dapat memberikan manfaat pada waktu yang cepat, selain itu diperkirakan akan menelan biaya yang demikian besar.

Menurut Salis, penyelesaian proyek yang konon akan memakan waktu hingga 6-7 tahun ke depan jelas akan kalah bersaing dengan para negara produsen baru LNG, yang siap membanjiri LNG dunia di tahun 2020-2025 dengan harga yang murah. Akibatnya gas Masela tidak ekonomis pada saatnya nanti.

“Dilihat dari sisi teknikal, komersial, maupun sosial, kedua konsep ini juga tidak reliable, tidak fleksibel, dan tidak berefek ganda secara luas,” papar Salis ke Aktual.com, Jumat (5/2).

Mantan Ketua Umum Ikatan Ahli Teknik Perminyakan (IATMI) ini mengemukakan solusi alternatif yang dianggap lebih murah, efektif, fleksibel dan berefek luas manfaatnya bagi masyarakat.

“Menurut saya sebaiknya kita membangun FCNG, Floating Compressed Natural Gas. FCNG adalah fasilitas terapung yang digunakan untuk pengolahan gas menjadi CNG, dengan cara menekan gas hingga ratusan bar ribuan psia untuk memampatkan volumenya hingga sepertigaratusnya,” paparnya.

Dari sisi operasional, FCNG ini lebih sederhana dan praktis, hanya membutuhkan FPSO (Floating Production Storage and Offloading), kapal-kapal pengangkut CNG dan isotank, jika diperlukan.

“Keduanya sudah proven atau banyak digunakan dan banyak di pasaran,” katanya.

Sementara itu, menurut Salis, jika membuat LNG membutuhkan pendinginan hingga minus 165 derajat Celcius untuk membuat gas menjadi cair dengan bahan cryogenic yg mahal.

Salis menjelaskan, kelebihan konsep FCNG lainnya adalah kecepatan dalam konstruksi dan biaya investasi. Diperkirakan pembuatan FCNG berikut kapal-kapal CNG hanya membutuhkan waktu 3-3,5 tahun. Biayanya juga hanya untuk pengadaan FPSO dan 8 kapal CNG yg totalnya kurang dari USD8 miliar.

“Bandingkan dengan FLNG/OLNG yang konon sekitar USD15-19 miliar,” jelasnya.

Pada konsep FCNG, gas yang berasal dari sumur akan diproses pada FPSO, kemudian dikompresi pada tekanan tinggi untuk menjadikan CNG. CNG lalu diangkut dengan kapal untuk didistribusikan ke konsumen. Konsumen CNG adalah konsumen gas alam biasa, seperti pembangkit listrik (PLN, IPP), pabrik pupuk, petrokimia, dan lain-lain.

Dengan demikian, konsep FCNG tidak memerlukan infrastruktur Regasifikasi. Ini dapat menghemat jutaan dollar (setidaknya 3-5 US$/MMBTU) jika dibandingkan dengan kita membuat gas menjadi LNG kemudian menjadikannya gas kembali.

“Selain itu, jika gas sudah menjadi CNG, maka kita juga dapat mengembangkan beberapa pembangkit listrik, pabrik pupuk dan industri petrokimia lainnya di pulau-pulau yang memerlukannya. Tidak hanya untuk masyarakat di sekitar Kepulauan Aru, Sulawesi, atau Papua, tapi untuk seluruh rakyat Indonesia yang memerlukannya,” jelasnya.

Semua itu akan lebih mudah dijangkau dengan menyediakan kapal CNG skala kecil yang dirancang dan dibangun di dalam negeri (TKDN lebih besar).

“Dengan demikian, industri maritim akan tumbuh pesat dan ide tol-laut juga dapat segera direalisasikan,” tutupnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka