Jakarta, Aktual.com — Surat balasan Presiden Joko Widodo terhadap rekomendasi Pansus Pelindo II dinilai akan membawa persoalan dalam tata kelola negara serta kegaduhan politik.
Demikian disampaikan pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah Pangi Syarwi kepada Aktual.com, Senin (8/2).
Terlebih, sambung Pangi, surat dari Presiden tersebut bermakna ganda, karena di satu sisi seakan tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berarti akan menjalankan keputusan Pansus Pelindo. Namun di sisi lain, Presiden ingin menunjukkan bahwa hak prerogatifnya untuk mengangkat dan mencopot menteri tidak dapat diarahkan atau ditekan DPR.
“Seorang Presiden harus memberi kejelasan dalam memutuskan permasalahan, supaya tidak menjadi persoalan bagi negara, keputusan itu membahayakan negara dan mengakibatkan kekeruhan politik,” kata dia.
Berdasarkan UU 17/2004 tentang MD3 pasal 74 menegaskan bahwa DPR berhak memberikan rekomendasi. Ayat 2 pasal yang sama mengatur bahwa setiap pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, warga negara atau penduduk wajib menindak lanjuti rekomendasi DPR.
Selanjutnya ayat 3 dan 4 menetapkan bagi pejabat negara atau pemerintahan atau dalam hal ini adalah Presiden yang mengabaikan rekomendasi DPR, maka DPR dapat menggunakan hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat atau hak anggota DPR mengajukan pertanyaan terhadap Presiden.
“Jadi sebetulnya rekomendasi hasil kerja proses politik dari Pansus Pelindo harus direspon dan ditindaklanjuti oleh presiden,” ujar dia.
Selain itu, menurut Pangi, Presiden mesti menghargai proses politik yang diambil oleh DPR melalui cara yang legal formal. “Presiden mesti menghargai kerja kerja atau proses politik dan penyelidikan yg sudah dilakukan oleh DPR,” kata dia.
Adapun rekomendasi Pansus Pelindo II DPR menyatakan 7 poin berikut:
Pertama, Pansus sangat merekomendasikan membatalkan perpanjangan kontrak Jakarta Internasional Container Terminal (JICT) 2015 – 2038 antara Pelindo II dan Hutchhonson Port Holding (HPH).
“Karena terindikasi kuat merugikan negara dan menguntungkan pihak asing serta terjadi strategic transfer pricing pada kontrak Pelindo II dan HPH 1999-2019 dan karenanya kontrak ini putus dengan sendirinya,” ujar Rieke saat membacakan laporan di ruang paripurna, Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis, (17/12).
Kedua, meminta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk menyelidiki dugaan conflict of interest dan manipulasi yang dilakukan pihak Deutsche Bank dalam melakukan evaluasi selaku konsultan.
Ketiga, Pansus merekomendasikan dihentikannya pelanggaran terhadap UU Serikat Pekerja dan UU Ketenagakerjaan dengan menghentikan praktek pemberangusan Serikat Pekerja (Union Busting).
“Mempekerjakan kembali karyawan yang mengalami pemutusan hubungan kerja secara sepihak akibat penolakan terhadap rencana perpanjangan kontrak pengelolaan JICT,” lanjutnya.
Keempat, merekomendasikan agar aparat penegak hukum bisa melanjutkan penyidikan atas pelanggaran undang-undang yang justru merugikan negara. Pansus juga menyoal RJ Lino dan Menteri BUMN Rini Soemarno.
Kelima, Pansus merekomendasikan kepada Menteri BUMN untuk segera memberhentikan Dirut Pelindo II.
Keenam, Pansus merekomendasikan kepada Presiden RI untuk menggunakan hak prerogatifnya memberhentikan Rini Soemarno sebagai Menteri BUMN.
“Pansus menemukan fakta bahwa Menteri BUMN dengan sengaja melakukan pembiaran terhadap tindakan yang melanggar peraturan perundang-undangan,” lanjut Rieke.
Ketujuh, Pansus merekomendasikan kepada Presiden untuk tidak serta merta membuka investasi asing yang dalam jangka panjang merugikan bangsa Indonesia secara moril dan materil, mengancam keselamatan negara dan kedaulatan ekonomi politik bangsa.
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta
Wisnu