Jakarta, Aktual.co — Melanjutkan pemberitaan Aktual.co sebelumnya terkait sejarah perjalanan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), cukup banyak jurnalis, aktivis, yang menggerakkan roda organisasi AJI pada masa awal berdirinya, justru berasal dari grup media yang bukan korban pembreidelan.
Mereka antara lain, Stanley Adi Prasetyo (Jakarta-Jakarta), Meirizal Zulkarnain (Bisnis Indonesia), Hasudungan Sirait (Bisnis Indonesia), Rin Hindryati (Bisnis Indonesia), Satrio Arismunandar (Kompas), Dhia Prekasha Yoedha (Kompas), Santoso (Forum Keadilan), Ayu Utami (Forum Keadilan), Andreas Harsono (The Jakarta Post ), Ati Nurbaiti (The Jakarta Post ), Roy Pakpahan (Suara Pembaruan), dan lain-lain.
Tentu, tak bisa saya sebutkan satu-persatu semua di sini. Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa pembreidelan 21 Juni 1994 telah membantu menciptakan momentum, yang dibutuhkan bagi lahirnya sebuah organisasi jurnalis alternatif.
Pembreidelan pada 21 Juni 1994 yaitu, semacam ‘shock therapy’, yang menjelma menjadi bendera penggalangan solidaritas para jurnalis muda, untuk mewujudkan mimpi yang sudah lama terpendam untuk membentuk organisasi profesi jurnalis yang independen.
Namun demikian, benih-benih lahirnya AJI sebenarnya sudah tertanam jauh hari sebelum pembreidelan tersebut. Pertemuan Jurnalis di Sirnagalih Setelah pembreidelan DeTik, Tempo dan Editor, para jurnalis muda yang didukung elemen Mahasiswa, LSM dan seniman mengadakan sejumlah aksi menolak pembreidelan.
“Meski merasa pesimistis, kami waktu itu karena pertimbangan prosedural menemui pimpinan PWI Pusat yang diketuai Sofjan Lubis dengan Sekjen Parni Hadi untuk meminta mereka memperjuangkan nasib para karyawan dan wartawan korban pembreidelan,” kata Satrio Arismunandar.
“Pada pertemuan pertama di Gedung Dewan Pers, Jl. Kebon Sirih, Jakarta Pusat itu, kami meminta, agar mereka berusaha bertemu langsung dengan Menteri Penerangan Harmoko. Waktu itu pimpinan PWI berjanji mengupayakannya. Sebulan kemudian, kami menemui lagi PWI Pusat dalam aksi tagih janji, dan mempertanyakan hasil pertemuan itu, ” urainya.
“Namun, nyatanya PWI gagal bertemu Harmoko dan gagal memperjuangkan nasib wartawan dan karyawan pers. Dari situ, para jurnalis muda lalu menyatakan ketidakpercayaannya lagi pada PWI. Saat itu, saya dan sejumlah rekan jurnalis sudah mencanangkan, hal ini akan berujung ke pembentukan organisasi jurnalis yang baru, karena PWI terbukti sudah tak efektif lagi dan sudah terlalu dikooptasi oleh penguasa,” katanya lagi.
“Untuk menggalang dukungan sekaligus merancang langkah aksi berikutnya, diadakanlah pertemuan para jurnalis muda. Wisma Tempo di Sirnagalih, Jawa Barat, dipilih sebagai lokasi pertemuan, karena pertimbangan praktis gratis, relatif dekat, dan bisa lebih dijamin keamanan dan kerahasiaannya. Pada waktu itu, memang tak mudah mencari pemilik gedung, yang mau meminjamkan gedungnya untuk kegiatan yang berseberangan dengan pemerintah, ” jelas Satrio .
Untuk menghindari endusan aparat intel, undangan disampaikan secara diam-diam.
“Kita sebarkan umpan pengecohan, seolah-olah pertemuan akan berlangsung di tempat lain di Bandung. Saking rahasianya, ada sejumlah rekan jurnalis yang malah salah informasi, dan datang ke tempat yang keliru. Pertemuan jurnalis pun digelar, dengan elemen utama jurnalis dari empat kota: Surabaya, Yogyakarta, Bandung dan tentu saja Jakarta. Sebelum pertemuan, sudah terdengar kabar bahwa ada kelompok atau figur tertentu yang mengklaim bisa mengatur atau men-set up”para jurnalis ini, ” terangnya.
“Oleh karena itu, untuk menghindari politisasi, klaim-klaim sepihak, dan kabar miring, sejak awal kami meminta para jurnalis senior seperti Erros Djarot, Aristides Katoppo, Goenawan Mohamad, dan Fikri Djufri untuk tidak datang pada tanggal 6 Agustus malam ketika penggodokan konsep dan wadah gerakan oleh para jurnalis muda sedang berlangsung. “
“Mereka baru diizinkan datang esok harinya, 7 Agustus, jika penggodokan telah selesai. Dengan demikian, diharapkan tidak ada yang bisa menuduh AJI sebagai sekadar alat atau kepanjangan kepentingan dari tokoh-tokoh pers tertentu. Toh pada malam 6 Agustus, ada saja figur senior yang hadir, antara lain tokoh Forum Demokrasi, Marsilam Simanjuntak.”
“Namun, Marsilam buru-buru angkat kaki, setelah merasa disindir langsung oleh rekan Dhia Prekasha Yoedha. Dalam forum diskusi terbuka, di depan Marsilam, Yoedha mengatakan: Saya dengar, ada orang yang di luar forum ini yang mengklaim, bisa mengatur kita dan mau menjual‘ pertemuan para jurnalis ini, ” tutupnya. (Sumber : Satrio Arismunandar, Redaktur Senior Aktual.co Urbanitas)
Artikel ini ditulis oleh: