Kekhawatiran John Stuart Mill di penghujung abad ke-19 mengenai ancaman terhadap kebebasan berkespresi dalam sebuah negara modern mendapatkankan relevansinya dalam konteks kemunculan fanatisisme dalam ruang publik Indonesia saat ini. Fanatisme baik bersifat sekuler maupun keagamaan bersifat iconoclast, yakni menolak prinsip representasi (lembaga perwakilan) dalam politik. Paham ini menerima kebenaran Mutlak sebagai sesuatu yang given, yang tak memerlukan interpretasi. Hal ini mengandung implikasi bahwa konsensus rasional dalam lembaga perwakilan sebagai ikhtiar melakukan interpretasi terhadap “Kebenaran” demi menjawab problem-problem konkrit dalam masyarakat harus ditolak. Pada tingkat selanjutnya, pemerintahan hukum (the rule of law) yang didasarkan pada demokrasi konstitusional juga harus ditolak. Dengan klaimnya sebagai penjaga “Kebenaran”, kelompok-kelompok fanatik cenderung anti kebebasan dan melancarakan aksi-aksi kekerasan dalam memperjuangkan pemahamannya.
Fanatisisme yang semakin meruyak dalam dunia kehidupan Indonesia saat ini membawa ancaman serius terhadap kehidupan publik demokratis. Fanatisme secara jelas menampik kemungkinan untuk perbedaan tafsir, menetapkan batas-batas yang tak pernah jelas terhadap ekpresi estetik, memusuhi kepercayaan dan penghayatan keagamaan yang dianggap sesat. Kekerasan yang akhir-akhir ini mewarnai negeri ini adalah buah dari fanatisme. Fanatisme lahir dari ketidakpercayaan diri untuk menghadapi perbedaan pikiran, ekspresi kehidupan, kemudian menetapkan segala hal ihwal yang suci dianggap steril, tak pernah terkontaminasi, murni, bahkan ajeg.
Fanatisme juga memberi halangan terhadap konsolidasi yang mensyaratkan adanya sikap kewargaan yang inklusif. Suatu kesiapan untuk mentransendensikan diri dari perbedaan yang tak terelakkan demi mengutamakan substansi yang mendukung kebajikan bersama. Fanatisisme mengarah pada eksklusivisme yang memandang politik sebagai arena pertempuran, ketibambang sebagai wahana untuk bernegosiasi dan berbagi.
Lebih dari itu semua, fanatisisme juga merupakan antipoda atas civil society karena menolak rasionalitas sebagai landasan yang bisa menjamin keberlangsungan kehidupan ruang publik. Sejak Pecerahan, ruang publik demokratis bertolak dari rasionalitas sebagai kriteria. Berani berfikir sendiri merupakan diktum Pencerahan yang menggema sejak abad ke-18. Diktum ini selanjutnya menjadi paradigma berpikir yang meresapi semua aspek kehidupan modern. Salah satu tokoh penting Pencerahan ini adalah Immanuel Kant. Bagi Kant, pencerahan adalah terbebasnya manusia dari buaian otoritas di luar dirinya. Manusia adalah subjek yang menentukan diri (self-defining subject), bebas dalam menentukan cara berpikir, otonom dalam menentukan tindakan. Modernitas yang ditandai dengan pencapaian subyektivitas menempatkan manusia berdiri sejajar di atas permukaan bumi atau kosmos. Dengan demikian, setiap orang berhak menentukan pendapat dan pilihannya sendiri tanpa ancaman dari otoritas luar.
Akar Fanatisisme
Tetapi fanatisisme tidaklah muncul tanpa akar. Ia muncul akibat terganggunya basis-basis keadilan (hukum, ekonomi, sodial dan budaya) dan distrosi komunikasi.
Keadilan hukum terganggu ketika warga negara diberi perlakuan yang berbeda atau tak diberi perlindungan atas hak-hak sipil dan politiknya. Jika warga negara gagal memperoleh perlindungan dari negara, secara alamiah mereka akan mencari perlindungan dari sumber-sumber yang lain. Sumber-sumber alternatif ini bisa dalam bentuk premanisme, koncoisme, etnosentrisme, kelompok-kelompok kegamaan eksklusif dan seterusnya.
Ketidakadilan ekonomi berperan besar dalam menyulut fanatisisme. Demokrasi tidak melulu berhubungan dengan politik. Dahl dengan demokrasi proseduralnya telah memisahkan demokrasi sebagai ranah politik dan ranah sosial. Demokrasi poliarkis, atau yang disebut Amy Gutmann sebagai “demokrasi non-ideal” harus mampu memberikan kepuasan kebutuhan pokok, dan inilah yang menyebabkan Gutmann menghubungkan demokrasi dengan kesejahteraan. Amy Gutmann bisa jadi terinspirasi oleh Alexis de Toxqueville. Bagi de Tocqueville, demokrasi memiliki makna diluar politik, yaitu kesederajatan kondisi sosial dan ekonomi ditambah dengan semangat egalitarianisme dan keinginan merdeka. Dari kesetaraan kondisi ekonomi dan sosiallah, menurut Tocqueville, ada kecenderungan untuk membentuk perkumpulan-perkumpulan. Di negara-negara tempat warganya berdiri sama tinggi, tanpa melihat dan dibedakan berdasarkan silsilah, banyak berdiri perkumpulan yang dibentuk oleh warganya sendiri untuk mengasah kekuasaan mereka.Dari terbentuknya asosiasi-asosiasi inilah timbul rasa dan pemahaman kesetaraan, kesederajatan. Perkumpulan ini lalu melindungi dan melestarikan kesetaraan ini dengan mencegah kelompok lain menjadi dominan dan hegemonial. Sehingga, perkumpulan ini, bagi Tocqueville, memiliki dua fungsi dalam sistem politik egalitarian: mereka berasal dan menjaga demokrasi. Demokrasi tanpa kesederajatan kondisi sosial dan ekonomi adalah demokrasi yang timpang.
Fanatisme berkembang subur saat berhadapan dengan ketimpangan ekonomi-politik. Ketimpangan ini terjadi baik karena warisan aneka diskriminasi kolonial maupun rejim-rejim otoriter pasca-kolonial. Tetapi sumber ketimpangan sosial-ekonomi baru yang tak kalah pentinganya adalah konsekuensi dari globalisasi dan penetrasi kapitalisme. Di Indonesia, pergeseran ke arah sistem politik demokratis yang membawa serta gelombang aspirasi neo-liberal dalam perekonomian terjadi ketika tradisi negara kesejahteraan belum berjejak. Penetrasi kapital dan kebijakan pro-pasar di tengah-tengah perluasan korupsi serta lemahnya regulasi negara dan pelaku ekonomi “kebanyakan”, memberi peluang bagi bersimaharajalelanya “predator-predator” raksasa, yang secara cepat memangsa pelaku-pelaku ekonomi menengah dan kecil. Ekspansi kepentingan predator besar ini tak berhenti pada dunia usaha, melainkan juga menyusup ke soal perumusan perundang-undangan bahkan sampai pada pemilihan pejabat pemerintah di daerah.
Globalisasi dan perluasan ekonomi pasar tidak selalu memberi kabar gembira. Bagi kebanyakan masyarakat terbelakang, keduanya lebih sering membawa bencana. Globalisasi adalah anak kandung modernitas, sedangkan modernitas adalah kelanjutan proyek Pencerahan yang belum selesai. Proyek Pencerahan ini mengandaikan kepercayaan kepada prinsip-prinsip universal, karena prinsip-prinsip tersebut dapat berlaku dalam situasi lintas sejarah dan budaya dengan segala keunikannya. Prinsip yang bertumpu atas dasar universalitas ini seringkali tidak mewadahi semua keinginan dan harapan warga dunia sehingga acapkali melahirkan kekerasan. Kekerasan adalah respon balik yang muncul sebagai gerakan protes oleh sebagian kalangan terhadap upaya globalisasi seluruh tatanan; politik, sosial, ekonomi, budaya, bahkan agama. Globalisasi untuk sebagian masyarakat lebih merupakan ancaman daripada peluang. Peluang dan ancaman memang paradoks yang menandai globalisasi. Di satu sisi, globalisasi telah banyak memberi kemudahan terpenuhinya segala kebutuhan manusia serta membuka peluang kompetisi di masa depan. Di sisi lain, globalisasi telah menciptakan ketidakadilan distributif dan tercerabutnya manusia dari akar eksistensinya.
Globalisasi, demikian Habermas, merupakan keniscayaan sejarah, tetapi juga telah menginjeksikan kepalsuan dalam spiral komunikasi sehingga dalam praktiknya sering melahirkan distorsi komunikatif. Resistensi dari sebagian kelompok tertentu bahkan memanifestasi dalam tindakan teror berasal dari distorsi komunikasi. Globalisasi secara kejam telah membagi dunia ke dalam kelompok pemenang dan pecundang. Analisis Habermas ini melanjutkan proyek Sekolah Frankfurt dalam mendiagnosa patologi yang mengidap masyarakat modern. Patologi itu berupa distorsi komunikasi dalam masyarakat global. Diagnosa terhadap patologi modernitas ini penting diajukan bukan untuk mengafirmasi globalisasi, tetapi untuk mengidentifikasi aspek-aspek yang berbahaya yang dikandungnya, salah satunya adalah terorisme. Terorisme berjalin-berkelindan dengan pemahaman fanatis-dogmatis dalam menafsirkan doktrin-doktrin agama ketika merespon modernitas.
Fundamentalisme adalah reaksi terhadap kegagalan sekularisasi dan ekstensifikasi rasionalitas instrumental atas dunia kehidupan (Lebenswelt), sekularisasi telah mencerabut bentuk-bentuk kehidupan tradisional mereka. Ketercerabutan yang diikuti oleh homogenisasi budaya juga identitas membuat para individu di dalam masyarakat mengalami keterasingan dari komunitasnya. Fundamentalisme menemukan bentuknya yang paling ekstrim dalam tindakan teror. Terorisme secara ekslusif bersifat modern. Fundamentalisme bukanlah gerak kembali yang sederhana kepada suatu cara yang pra-modern dalam memahami agama, tetapi lebih sebagai respon panik dan gagap menghadapi modernitas dan globalisasi. Kepanikan ini ditandai dengan resistensi diri terhadap prinsip-prinsip kehidupan global. Resistensi diri ini termanifestasi dalam sikap religius yang berlebihan dan menutup kemungkinan komunikasi dengan dunia luar. Terputusnya komunikasi inilah yang melahirkan kekerasan dalam wujud tindakan teror. Dalam konteks demokrasi global, terorisme memiliki dimensi politik yang berbeda dengan tindak kekerasan biasa, karena sifatnya yang mampu mendelegitimasi pemerintahan demokratis.