Jakarta, Aktual.com — Keputusan pemerintahan Jokowi untuk kembali menambah pinjaman utang luar negeri, salah satunya dari Asian Development Bank (ADB) sebesar USD10 miliar atau setara Rp135 triliun hingga lima tahun ke depan dengan alasan memberi dukungan untuk prioritas pembangunan pemerintah, terutama untuk infrastruktur fisik dan sosial menuai pro kontra dari berbagai kalangan masyarakat.
Ekonom dari Unuversitas Indonesia (UI), Rizal Edi Halim mengatakan, langkah pemerintah untuk kembali melakukan peminjaman dari ADB memang diakui tentunya dengan asumsi untuk membuat kondisi keseimbangan dalam negeri yang mengalami ketimpangan antara penerimaan dan belanja modal pemerintah.
“Ini memang terkait dengan manajemen fiskal. Pemerintah ingin menjaga jangan sampai terjadi defisit. Nah fiskal kuncinya adalah keseimbangan penerimaan dan belanja,” tutur Rizal ke Aktual.com, Selasa (16/2).
Namun, menurut Rizal pemerintah mestinya, jika ingin menjaga keseimbangan dan menghindari defisit, langkah yang harusnya diambil adalah mendorong penerimaan atau efisiensi belanja, atau dilakukan keduanya.
“Ini yang mestinya didorong terus dan dimaksimalkan oleh pemerintah, apakah sudah dilakukan atau tidak,” tuturnya.
Apalagi, penerimaan negara 2015 tidak menggembirakan. Pajak, PNBP, juga dari BUMN tidak maksimal, sementara belanja terus tumbuh.
“Ini yang perlu dikritisi bersama oleh pemerintah, tidak serta merta dengan mudah melakukan penambahan pinjaman, utang kita sudah besar dan pengalaman kita sulit melunasinya,” paparnya
Rizal melanjutkan, walaupun pinjaman luar negeri merupakan salah satu instrumen menutupi defisit. Tetapi langkah tersebut kurang tepat dilakukan saat ini.
“Ada baiknya pemerintah memperbaiki struktur fiskal dengan efisiensi belanja jika target penerimaan meleset. Ini lebih membantu kesehatan fiskal,” tutupnya.
Seperti diketahui, utang pemerintah terus bertambah setiap tahunnya. Bahkan saat ini utang Indonesia mencapai Rp3.089 triliun, lebih besar dari APBN 2016 sebesar Rp2.095.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka