Jakarta, Aktual.com — Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sudah meminta waktu untuk menemui Presiden Joko Widodo. Permintaan waktu itu tak lain adalah untuk membahas revisi UU No 30 tahun 2002 tentang KPK.
“Kami ini sudah minta waktu (bertemu Presiden Joko Widodo) pada saat pelantikan gubernur kemarin. Kami dijadwalkan segera bertemu dengan presiden setelah beliau pulang dari Amerika,” kata Ketua KPK Agus Rahardjo di gedung KPK, Selasa (16/2).
Terkait revisi yang disodorkan pemerintah, KPK ujar dia, tetap menolak revisi UU KPK. “Sikap kami pun demikian, sudah jelas. Di dalam banyak kesempatan saya ini pimpinan, ketua dan seluruh komisioner dan seluruh jajaran di KPK mengucapkan menolak dilakukannya revisi Undang-undang KPK,” kata dia.
Alasannya adalah karena revisi itu belum diperlukan saat ini. “Kami sudah menyampaikan ancer-ancernya kalau ‘Index Perception Corruption’ sudah 50 baru kita akan melakukan kajian apakah kemudian revisi itu perlu dilakukan,” kata Agus.
Sedangkan Komisoner KPK Saut Situmorang dalam acara yang sama menyatakan bahwa pemberantasan korupsi tidak boleh mundur.
“Seperti disampaikan bapak ketua tadi, ada banyak ‘discourse’ tentang bagaimana membangun Indonesia bebas korupsi seperti kalian lihat beberapa hari ke belakang dan ke depan ini akan ada kejutan-kejutan besar yang akan membuat negara ini lebih bersih. Kita tidak boleh surut ke belakang, untuk itu terima kasih dukungannya dan jangan pernah mundur,” kata Saut.
Hadir dalam rombongan pembunyi kentungan antara lain Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Miko Ginting, peneliti Indonesia Corruption Watch Abdullah Dahlan, Lalola Easter dan Aradila Caesar.
“Publik tiada henti-hentinya menyatakan penolakannya terhadap upaya pelemahan dan pembunuhan KPK. Seperti pernyataan penolakan yang terjadi di Yogyakarta, Aceh, Semarang, dan daerah lainnya, tetapi tampaknya semua usaha tersebut tidak cukup mampu menyentuh hati nurani anggota DPR,” demikian disampaikan perwakilan Koalisi Masyarakat Antikorupsi.
Dari 10 fraksi di DPR 7 fraksi menyetujui revisi UU KPK dan menjadi inisiatif DPR, sedangkan tiga fraksi yaitu Fraksi Partai Gerindra, Partai Demokrat dan PKS menolak revisi UU tersebut. Sikap tiga fraksi itu membuat beberapa fraksi lainnya berpikir ulang sehingga paripurna DPRD ditunda hingga 18 Februari 2016.
Draf revisi UU KPK terakhir yang beredar di wartawan pun mengalami perubahan, namun setidaknya masih ada sejumlah poin yang dinilai melemahkan KPK.
Pertama, soal pembatasan kewenangan penyadapan KPK yang tertera pada pasal 12A ayat (1) penyadapan dilaksanakan (a) setelah terdapat bukti permulaan yang cukup dan (b) izin tertulis dari Dewan Pengawas; (2) Pimpinan KPK meminta izin tertulis dari Dewan Pengawas untuk melakukan penyadapan; (3) penyadapan paling lama 3 bulan terhitung izin tertulis diterima penyidik dan dapat diperpanjang 1 kali untuk jangka waktu yang sama.
Kedua, kehadiran Dewan Pengawas yang diatur dalam pasal 37A-D. Dewan Pengawas adalah lembaga nonstruktural yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat mandiri. Anggota Dewan Pengawas berjumlah 5 orang yang pemilihannya dilakukan Presiden untuk masa jabatan 4 tahun. Tugas Dewan pengawas misalnya adalah melakukan evaluasi kinerja pimpinan KPK secara berkala 1 kali dalam 1 tahun dan membuat laporan pelaksanaan tugas secara berkala 1 kali dalam 1 tahun kepada Presiden dan DPR.
Ketiga, kewenangan KPK untuk mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dan Penuntutan (pasal 40). Tapi SP3 itu dapat dicabut oleh pimpinan KPK bila ditemukan hal-hal baru yang dapat membatalkan alasan penghentian penyidikan.
Keempat, kewenangan penyitaan oleh KPK pun hanya boleh dengan izin Dewan Pengawas seperti dalam pasal 47.
Artikel ini ditulis oleh:
Wisnu