Jakarta, Aktual.com — Politik seringkali harus dibaca dari apa yang tersirat, bukan apa yang tersurat. Yang tidak terlihat secara kasatmata, seringkali itulah yang nyata. Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Menko Polhukam Luhut Binsar Panjaitan, merupakan dua aktor kunci sistem pemerintahan bayangan Presiden Jokowi.
Kalau kita telisik secara biografis kedua sosok ini, “perang senyap” kedua pejabat kunci pemerintahan Jokowi ini sejatinya merupakan perang dua “jaringan siluman” yang sama-sama ingin melakukan perembesan kepentingan-kepentingan politik dan bisnisnya ke dalam kantor kepresidenan. Mari mulai dari Jusuf Kalla.
Sebelum masa pemerintahan Abdurrahman Wahid pada 1999, Jusuf Kalla lebih dikenal pengusaha pribumi yang tergolong sukses. Sehingga hanya segelintir kalangan saja yang tidak terkejut ketika putra kelahiran Watampone 15 Mei 1942 itu bakal jadi politisi lihai yang disegani baik kawan maupun lawan.
Namun, ada penggalan penting dari riwayat hidup JK yang seringkali luput dari perhitungan lawan-lawan politiknya. Sejak remaja JK sudah berkecimpung dalam organisasi Pelajar Islam Indonesia(PII) cabang Sulewesi Selatan pada periode 1960-1964. Di priode inilah naluri politik JK berkembang dan menemukan bentuk praktisnya ketika terpilih sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa Islam(HMI) cabang Makasar pada 1965-1966. Di masa-masa paling kritis ketika gerakan mengganyang PKI pas lagi gencar-gencarnya. Tak heran jika kemudian JK kemudian dipercaya jadi Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Hasanudin sekaligus Ketua Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia(KAMI) pada 1967-1969. Di sinilah awal kedekatan JK dengan Sofyan Wanandi, tokoh sentral KAMI yang berasal dari Universitas Indonesia.
Pada momentum inilah, kelak JK masuk golongan eksponen angkatan 1966 sangat diperhitungkan dalam konstalasi politik pemerintahan Orde Baru pimpinan Presiden Suharto. Terlebih lagi, JK memiliki basis dukungan yang kuat dan mengakar dari para alumni PII maupun HMI.
Kalau kita baca baik-baik sejarah hidup JK sampai pada tahapan ini, sudah terlihat betapa sejak era 1960-an JK sudah merajut jaringan dan koneksi politik melalui berbagai kiprahnya baik di tingkat lokal maupun nasional.
Sebuah modalitas politik yang cukup memadai untuk menghantarkan alumni Fakultas Ekonomi Universitas Hasanudin ini kelak jadi sosok politisi dan pimpinan nasional yang patut diperhitungkan.
Jaringan dan koneksinya semakin meluas dan mengembang ketika dirinya kemudian memutuskan untuk bergerak di dunia usaha sebagai pebisnis. Sehingga ketika di era Orde Baru, politik dan kekuasaan ibarat dua sisi dari satu mata uang yang sama, putra dari pasangan Haji Kalla dan Athirah ini dengan mudah memasuki dunia politik. Apalagi para eksponen Angkatan 1966 yang dipandang Suharto berjasa dalam mengganyang PKI yang kemudian membuka jalan Suharto jadi presiden menggantikan Sukarno, JK barang tentu masuk dalam lingkaran elit politik yang sangat diperhitungkan.
Meski sekarang jadi Wapres tidak menggunakan Golkar sebagai kendaraan politik, karena partai pohon beringin pimpinan Aburizal Bakrie itu mengusung pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa sebagai calon presiden dan wakil presiden, namun jangan lupa bahwa JK merupakan tokoh kunci kelahiran Sekratariat Bersama Golongan Karya(SEKBER GOLKAR), yang merupakan embrio alias jabang bayi kelahiran partai Golkar di era Orde Baru atapun Partai Golkar seperti sekarang ini.
Sekber Golkar, diprakarsai oleh beberapa jenderal Angkatan Darat yang pada awal pembentukannya ditujukan untuk membendung pengaruh PKI. Pada 1965 setelah pembentukan Sekber Golkar, JK terpilih sebagai Ketua Pemuda Sekber Golkar Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara (1965-1968). Bahkan pada 1965-1968 itu pula, JK terplilih sebagai anggota DPRD Provinsi Sulewesi Selatan. Karir politiknya semakin melesat, ketika pada periode 1982-1987 terpilih sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat(MPR) mewakili Golkar, dan 1987-1999 mewakili daerah.
Dari kiprahnya ini saja, sudah bisa diukur kekuatan jaringan politik JK. Jaringannya semakin meluas tidak semata di milieu politik, melainkan meluas di komunitas bisnis, ketika berkiprah di Kamar Dagang dan Industra Daerah(KADINDA).
Bahkan bukan itu saja. Ada investasi politik Jk yang paling berharga, yakni konsolidasi birokrasi di pemerintahan selama 15 tahun terakhir, menjadikan dirinya seorang birokrat dan politisi senior di tanah air. Bayangkan. Tiga jabatan prestisius pernah disandangnya. Ketua Umum Partai Golkar, Menteri dan Wakil Presiden.
Jika ditelisik sejak awal Orde Baru hingga kini, JK sudah memupuk modalitas politiknya berupa jaringan dan koneksi selama 40 tahun. Baik basisnya di HMI, PII, Golkar maupun yang dari luar Golkar. Yang tak kalah penting, geneologi keluarga JK merupakan keluarga besar Muslim Tradisional Nahdlatul Ulama(NU) yang mana ayahandanya Haji Kalla merupakan tokoh sentral NU. Jadi tak aneh kalau Partai Kebangkitan Bangsa(PKB) mengusung JK jadi calon presiden.
Ketika pasangan Jokowi-JK akhirnya berhasil memenangi Pilpres 2014 lalu, maka di situlah persoalan bermula. Ketika formasi kabinet Jokowi-JK diumumkan, hampir semuanya mempunyai irisan, baik langsung ataupun tidak langsung, dengan JK.
Ibarat investasi politik, posisi JK sebagai pendamping Jokowi sekarang ibarat panen raya, tinggal memetik buahnya. JK kini ibarat memegang secangkir kopi mengaduk PDIP, PKB, Nasdem dan Hanura, sehingga satu cita rasa yang sama. Karena mereka semua yang tersebar di partai-partai yang berbeda, sejatinya merupakan jaringan dan koneksi yang sudah dia tanam dan rawat berpuluh-puluh tahun. Sehingga basis kekuatan JK dalam bargaining position terhadap Jokowi, justru mengandalakn kekuatan koalisi partai. Dan atas dasar itu pula, kepentingan-kepentingan kroni JK baik terkait partainya maupun relasinya yang luas di dunia bisnis, digalang melalui koalisi lintas partai yang sekarang tergabung dalam Koalisi Pro Pemerintah.
Situasi inilah yang membikin resak faksi-faksi politik lain yang sebenarnya juga orang-orang lingkar dalam kekuasaan Jokowi, namun berbeda misi dan kepentingan kelompok. Pada tataran ini, Luhut Panjaitan merupakan lokomotif yang mewakili gerbong-gerbong politik yang berseberangan dengan jaringan dan koneksi politik yang mengandalkan JK sebagai gerbong politiknya.
Kalau JK, karena investasi politiknya yang sudah dia tanam benih-benihnya melalui basis-basis yang saya sebut tadi termasuk Partai Golkar, Luhut justru malah menjadi tumpuan berbagai kelompok-kelompok kepentingan yang tidak melalui jalur partai.
Rupanya, Megawati yang pada dasarnya sedari awal sudah menjalin ikatan solid engan JK, mulai resah dengan adanya gerakan Luhut Panjaitan Cs. Maka dalam Pidato Pembukaan Kongres di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan(PDIP) di Bali pada 9 April 2015, Mega melancarkan serangan terbuka yang seolah-olah dialamatkan kepada Presiden Jokowi, padahal sesungguhnya ditujukan kepada gerakan senyap dari Luhut Cs.
Meskipun perang senyap JK versus Luhut sepenuhnya murni soal kepentingan bisnis, namun karena serangan itu ditujukan kepada Presiden Jokowi, maka tema yang djadikan dasar serangan adalah soal Nawacita dan Trisakti. Dalam pidatonya itu, Mega mensinyalir adanya niatan untuk menguasai sektor Migas dan BUMN yang ada di Indonesia melalui pemerintahan Jokowi-JK.
Lepas hal itu didasari kekuatiran Mega terhadap manuver senyap dari konsorsium yang merapat kepada Luhut Panjaitan, harus diakui bahwa konsorsium ini memang menggunakan sarana-sarana non partai untuk merembeskan kepentingan-kepentingan bisnisnya melalui Luhut Panjaitan dan Presiden Jokowi. Itulah latarbelakangnya mengapa Mega dalam pidatonya menggunakan jargon: Adanya Persekongkolan antara kekuatan modal dan kekuatan anti partai.
Kalau kita menelisik rekam jejak Luhut yang pernah menempuh pendidikan di Public Administration Universitas George Washington dan menempuh pendidikan di National Defense University, maka tak heran jika Luhut merupakan “pemain penghubung” pemerintah Indonesia di Gedung Putih maupun Capitol Hill(DPR AS) di Washington.
Pertemuan dengan James R Moffett, pendiri Freeport, meski berlangsung jauh-jauh hari sebelum Jokowi jadi presiden, membuktikan bahwa mantan Duta Besar RI untuk Singapura itu memang merupakan salah satu the American Lobby sejak era kepresidenan Gus Dur.
Dengan latarbelakang inilah, Luhut kemudian jadi tumpuan kepentingan berbagai korporasi bisnis seperti James Riady dan Lippo Group di satu pihak, maupun beberapa korporasi Migas dan Pertambangan, khususnya yang punya irisan dan kedekatan dengan Luhut secara pribadi. Antara lain, dengan Medco milik Arifin Panigoro, mengingat kedekatan Luhut sebagai aktivis Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar(KAPPI) Bandung sewaktu masih sekolah menengah atas.
Sebagai anggota KAPPI dan eksponen Angkatan 1966 Bandung, barang tentu hal itu mendekatkan dirinya dengan para aktivis mahasiswa yang tergabung dalam Serikat Mahasiswa Lokal(SOMAL) seperti Ikatan Mahasiswa Bandung, yang pada umumnya berhaluan sosialis-demokrat seperti Rahman Tolleng, Arifin Panigoro, dan lain-lain. Dan kelak di kemudian hari, eksponen aktivis pergerakan mahasiswa 1966 seperti Arifin, kemudian berkiprah di dunia bisnis dan merintis Medco. Dan jadi pengusaha pribumi papan atas berkat fasilitas dan perlindungan dari Ginandjar Kartasasmita, yang ikut menggodok keluarnya Keputusan Presiden Non 10 tahun 1980, sebagai payung hukum untuk membesarkan pengusaha-pengusaha pribumi.
Sayangnnya, gagasan dasar Kepres No 10/1980 itu bukan untuk membangun strategi yang terpadu untuk membesarkan pengusaha-pengusaha pribumi dari semua kalangan dan tingkatan baik pusat maupun daerah, tapi semata didasari ketakutan Suharto atas semakin menguatkanya pengaruh kekuatan konglomerasi Cina seperti Liem Soe Liong, Eka Cipta, Prayogo Pengestu, dan Mochtar Riady. Alhasil, meski yang dibesarkan adalah pengusaha pribumi, tapi semangat dasarnya adalah membesarkan kroni-kroni yang dekat dengan Ginandjar Kartasasmita dan Sudharmono yang ketika Kepres ini keluar merupakan Menteri Sekretaris Negara.
Maka jelaslah bagi kita sekarang, ketika bocornya rekaman pertemuan segitiga tersebut di atas, sejatinya merupakan cerminan dari perang senyap antara dua kongsi besar, yang sama-sama ingin menjadi komprador Freeport dalam skema perpanjangan kontrak karya untuk 2021. Dan di sinilah, benturan dua kongsi besar tersebut mengerucut pada perseteruan terbuka antara Wapres Jusuf Kalla versus Luhut Panjaitan. Atau pada tingkatan yang lebih teknis, mengerucut pada Perang Perwalian alias Proxy War antara Menteri ESDM Sudirman Said versus Luhut Panjaitan, dan Antara Sudirman Said versus Setya Novanto.
Benturan antara dua kongsi besar tersebut semakin nyata adanya, ketika terungkap bahwa salah seorang anggota keluarga JK yang juga pengusaha, telah mengadakan pertemuan dengan James Bob Moffett.
Maka, yang semula merupakan Perang Senyap, akhirnya jadi Perseteruan Terbuka. Tapi, mungkinkah mereka berdua akan meriskir sebuah pertarungan terbuka yang pada gilirannya akan merusak seluruh tatanan sistem pemerintahan bayangan Presiden Jokowi? Saya tidak yakin.
Artikel ini ditulis oleh:
Hendrajit