Jakarta, Aktual.com — Pada bulan Desember 2010 lalu, sebuah protes pecah di negara Tunisia yang menyebabkan awal dari serangkaian revolusi yang dikenal sebagai “Arab Spring”.

Sebuah film terbaru menampilkan, lima orang pemuda dari wilayah berbeda di antaranya, Tunisia, Mesir, Yaman, Suriah dan Libya. Di film tersebut kita diajak melihat kembali masa revolusi di negara masing-masing dan efek revolusi yang berdampak di kehidupan masyarakat. Apa yang telah terjadi saat itu, harapan, dan ketakutan mereka untuk masa depan.

Insaf Qasmi (15) dari Tunisia, selama masa pemberontakan hingga saat ini, ia tengah belajar di sebuah Universitas dengan program studi media dan manajemen.

“Hari ini Tunisia lebih baik dari Tunisia kemarin,”kata ia, dan ia merasa bahwa masyarakat sipil perlu diperkuat oleh negara.

“Revolusi bukan hanya ‘tempat’ kita tinggalkan. Akan tetapi ini tentang nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang harus kita pegang erat. Segala sesuatu yang harus diperjuangkan. Dan, bahwa mereka mengorbankan darah mereka untuk hal itu,” kata Rihab al-Qatabri, Mahasiswa di Sanaa, dilansir dari laman Aljazeera, Jumat (19/02).

Mohammad Mostafa Wa’al berasal dari Mesir dan menyaksikan tindakan keras dari pendukung pro-Morsi pada 14 Agustus 2013 silam. Dia dipenjara selama tiga bulan karena berani mengatakan ” ‘tidak’ untuk apa yang terjadi di kota Rabaa.

Tak hanya itu, ayahnya pun juga ikut dipenjara. Mohammad merasa ia memang harus meninggalkan Mesir, dan saat ini ia tinggal di Istanbul dan belajar di sana.

Rihab Al Qatabri (19), seorang Mahasiswa di Sanaa, melihat revolusi sebagai titik balik dalam sejarah di Yaman. Namun, ia sangat menyayangkan bagaimana perang saudara masih terus berlanjut.

Mazin Rojoba (22) dari Libya, juga merupakan seorang Mahasiswa merangkap berprofesi sebagai presenter TV olahraga di Tripoli. Dia paham benar, bahwa negaranya menghadapi perjuangan untuk membangun kembali setelah rakyat Libya menggulingkan sang Diktator Gaddafi (Muhammad Khadafi, red).

“Saya pikir Libya sebagai seorang ibu yang menderita selama 42 tahun karena ‘anak nakalnya’. Anak-anaknya kini telah datang untuk menghiburnya. Libya lebih pantas.”

Murad Nasif (19) berasal dari Suriah. Ia berasal dari Dataran tinggi Golan, yang telah diduduki oleh ‘Zionis’ Israel sejak tahun 1967 silam. Murad dan keluarganya mengungsi ke Turki dan ia belajar teknik sipil di sana.

Lima orang anak muda ini merenung dalam lima tahun terakhir. Mereka juga berbagi dengan pandangan bahwa revolusi adalah proses panjang yang bisa ‘mengambil waktu’ untuk mencapai ‘puncaknya’.

Insaf mengatakan, “Kami masih memiliki jalan panjang untuk pergi ke sebuah revolusi yang tidak dapat mencapai tujuan dalam satu, dua, tiga atau empat tahun. Ini seperti kereta api mendapatkan penumpang. Tetapi beberapa turun setengah. Mereka sudah…. kehilangan iman dalam revolusi. Beberapa mendapatkan setengah dan melanjutkan kembali revolusi. Beberapa mendapatkan tanpa tiket. Mereka adalah orang-orang yang pernah digunakan ‘revolusi’ untuk keuntungan mereka sendiri. “

Artikel ini ditulis oleh: