Jakarta, Aktual.com – Pemerintah diminta serius tangani aliran dana ‘gelap’ (ilicit financial flow) dari luar negeri yang masuk untuk hindari pajak.

Saran dilontarkan peneliti perkumpulan Prakarsa, Setyo Budiantoro. Sebab aliran dana seperti itu bisa masuk dan keluar secara tiba-tiba. Jika dana ini berpindah secara tiba-tiba, bakal beresiko membuat krisis keuangan. Lantaran likuiditas keuangan mengering secara mendadak.

“Semakin besar dana spekulatif masuk ke pasar, semakin rentan pasar tersebut. Karena dana itu sewaktu-waktu, bisa ‘terbang’ berpindah ke pasar lain,” papar peneliti Perkumpulan Prakarsa, Setyo Budiantoro, kepada Aktual.com, Minggu (21/2).

Berdasarkan data Global Financial Integrity (GFI), aliran dana gelap di Indonesia berada di peringkat ke-9. Dengan rata-rata tahunan mencapai US$18 miliar dollar AS. Atau dalam satu dekade ini mencapai Rp2.500 triliun lebih.

Selama periode 2010-2013, secara akumulatif telah mencapai Rp914 triliun. Angka ini setara dengan 45 persen pertambahan jumlah uang beredar luas (M2) atau 2,2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Kondisi peningkatan aliran dana gelap dalam satu dekade terakhir, kata Setyo, karena dipicu oleh trade misinvoicing untuk penghindaran pajak. Sehingga berimplikasi pada hilangnya potensi penerimaan pajak dari transaksi impor maupun ekspor.

Maka, pemerintah diminta kreatif untuk mencegah hadirnya dana-dana gelap, terutama melalui sektor perpajakan.

“Kami usulkan agar pemerintah melakukan penguatan sistem pelaporan transaksi untuk mendorong transparansi perpajakan. Terutama untuk sektor-sektor yang didominasi kegiatan-kegiatan ilegal,” saran dia.

Kegiatan ilegal yang biasa terjadi terkait eksploitasi sumber daya alam. Antara lain pertambangan dan penggalian. Selain itu, perlu juga menelusuri sektor jasa dan sektor-sektor lain yang berpotensi adanya transaksi ilegal.

Pihaknya juga merekomendasikan adanya kanalisasi aliran dana masuk dan keluar dari asing. Langkah ini perlu disertai transparansi data dan informasi sebagai bagian dari upaya harmoniasi kebijakan moneter dan fiskal.

“Sehingga perlu dilakukan sinkronisasi instrumen moneter dan fiskal yang mengarah pada satu target atau tujuan bersama,” pungkas Setyo.

Artikel ini ditulis oleh: