Jakarta, Aktual.com — Wacana penurunan suku bunga kredit di perbankan pasca diturunkannya suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate) dan Giro Wajib Minimum (GWM) sempat mengguncang pasar modal.

Hal ini terlihat dari aksi jual investor asing yang mencapai US$5 miliar atau sekitar Rp67,5 triliun (dengan kurs Rp13.500). Tak pelak dengan adanya capital outflow itu membuat saham-saham sektor perbankan memerah, meski saat ini sudah mulai naik.

“Dalam tempo berapa hari saja dana investor asing yang dibawa kabur angkanya mencapai Rp5 miliar dolar AS,” tutur Ketua Asosiasi Manajer Investasi Indonesia, Edward P Lubis di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (24/2).

Dirinya pun sempat heran dengan kondisi itu. Bahkan jangan-jangan dengan kaburnya investor asing itu gara-gara salah quote di salah satu media nasional. “Tidak tahu juga apakah akibat salah quote atau bagaimana. Tapi yang jelas dampaknya itu signifikan,” kata dia.

Untuk itu, dari fenomena tersebut, ia berharap pemerintah untuk berhati-hati melontarkan wacana tersebut. Pasalnya, selama ini saham-saham perbankan menjadi lokomotif pasar modal Indonesia.

“Saham perbankan itu bagus, cuma kemarin ada isu intervensi pemerintah langsung, sehingga sempat goncang,” jelasnya.

Sebelumnya, pemerintah memang gencar meminta dunia perbankan agar mau menurunkan suku bunga kreditnya menjadi single digit atau di bawah 10 persen. Jika hal ini terjadi, kemungkinan akan menggerus pendapatan perbankan yang selama ini menikmati era bunga tinggi.

Menurut Edward, porsi saham perbankan dalam kapitalisasi pasar-pasar modal memang mencapai 25 persen, disamping empat bank BUMN juga bank-bank besar swasta sudah Terbuka (Tbk).

“Sehingga bagi manajer investasi seperti kami sudah pasti menempatkan dana kelolaanya di saham perbankan,” jelas dia.

Ia menambahkan para manajer investasi (MI) akan terus mencermati langkah pemerintah terkait penurunan suku bunga kredit perbankan. Ia berharap persoalan tersebut lebih diserahkan kepada mekanisme pasar.

“Sehingga investor kembali percaya bahwa pasar kita (Indonesia) masih dipercaya pelaku pasar,” lanjut dia.

Meski begitu, pihaknya percaya para manajer investasi Indonesia tidak langsung mengalihkan dana kelolaannya dari saham saham perbankan, tidak langsung bersikap reaktif.

“Kalau langsung reaktif, jangan-jangan pilihan para MI malah salah. Itu jadi merugikan nasabah,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan