Jakarta, Aktual.com — Dilihat dari aspek kedua pihak, pekerja dan pemberi kerja, RUU Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) dianggap sebagai bentuk sikap pemerintah yang gagal paham kondisi dunia kerja.
“Dari sisi pekerja Tapera ini menjadi beban baru. Karena potongan gaji untuk iuran itu sudah pasti. Tapi untuk mendapatkan rumahnya belum pasti,” tandas Anggota Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan dari unsur pemberi kerja, Aditya Warman di Jakarta, Jumat (26/2).
Menurut dia, selama ini untuk pekerja formal agar bisa mendapatkan rumah bisa melalui program BPJS Ketenagakerjaan, jadi sudah tercover di sana.
Sementara bagi yang sudah punya rumah, Tapera ini tidak boleh digunakan untuk membeli rumah baru dan hanya bisa digunakan untuk renovasi rumah pertama saja. “Tapi soal kapan dana itu bisa dicairkan jika tidak digunakan karena sudah punya rumah, itu tidak diatur secara teknis,” keluh dia.
Dengan kondisi itu, kata dia, aturan yang akan diundangkan ini memang tidak jelas dan banyak yang tidak masuk akal. Karena sebenarnya pekerja itu tidak serta merta ada jaminan untuk mendapat rumah. Apalagi proporsi iuran itu kecil.
“Tapi kalau pemerintah menyebutnya itu konsepnya gotong royong, kenapa bentuknya tabungan? Ini bukti pemerintah gagal paham,” kritik Aditya.
Dari informasi yang beredar, iuran itu sebesar 3 persen. Sebesar 2,5 persen ditanggung pemberi kerja dan 0,5 ditanggung pekerja. Dengan plafond sebesar 20 kali UMP.
“Tapi beban iuran itu untuk pekerja formal terutama mereka yang mempunyai pendapatan rata-rata di atas UMP. Lantas, bagaimana dengan rakyat kecil yang tak berpenghasilan?” kritiknya lagi.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka