Jakarta, Aktual.com – Rencana pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang akan melakukan revisi terhadap UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba) mengundang perhatian dari berbagai kalangan.
Pengamat Pertambangan yang juga Ketua Departemen Ristek dan ESDM Majelis Nasional Korp Alumni HMI (KAHMI) Dr Lukman Malanuang mengingatkan, jika pemerintah memang nantinya akan melakukan revisi UU Minerba, yang salah satu poinnya adalah mengenai relaksasi (pemberian kelonggaran ekspor mineral mentah) kepada perusahaan pertambangan, Pemerintah harus mempertimbangkannya dengan melakukan pengklasifikasian terhadap perusahaan tambang yang beroperasi.
Menurutnya, pemerintah harus mempertimbangkan memberikan relaksasi ekspor dalam jumlah tertentu dan waktu tertentu bagi perusahaan yang pembangunan smelternya sudah mencapai 60 persen.
“Jadi perusahaan-perusahaan yang sudah membangun smelter 60 persen atau lebih diberikan insentif ekspor. Diperbolehkan ekspor tetapi dengan catatan dalam jumlah tertentu dan waktu tertentu,” kata Lukman di acara Talk Show Dalam Rangka HUT Emas KAHMI ke-50 dengan tema ‘Kementerian ESDM Vs Kementerian Perindustrian; Rebutan Kewenangan Perijinan Pembangkit Smelter” di Warung Komando, Tebet, Jakarta, Jumat (26/2).
Selain itu, lanjut Lukman, Pemerintah juga harus mempertimbangkan untuk memberikan relaksasi ekspor kepada perusahaan yang sudah beroperasi lebih dari 10 tahun dan punya komitmen yang jelas membangun smelter.
” Perusahaan yang sudah beroperasi lebih dari 10 tahun dan punya progress signifikan membangun smelter. Punya komitmen atau kesungguhan membangun smelter, itu bisa diberikan relaksasi ekspor, tapi yang smelternya dibawah 30 persen harus membayar bea keluar,” jelasnya.
Ketentuan tersebut, papar Lukman sesuai dengan regulasi di Menteri Keuangan yang menyatakan apabila progres smelternya nol persen harus dikenakan bea keluar sekitar 7,5 persen. Kalau progres smelternya diatas 7,5 persen dikenakan bea keluar 5 persen.
“Seperti Freeport sekarang-kan progress smelternya katanya 13 persen, dia kena bea keluar 5 persen. Dalam peraturan menteri keuangan itu apabila progres smelternya mencapai 30 persen dia dibebaskan bea keluar,” paparnya.
Jadi, lanjut Lukman ada dua klasifikasi yang mesti dijalankan pemerintah. Pertama, yang progresnya 60 persen, katakanlah itu perusahaan izin usaha pertambangan (IUP) diberikan izin ekspor dalam jumlah tertentu dan waktu tertentu.
“Yang kedua bagi perusahaan pemegang kontrak karya yang dia beroperasi lebih dari 10 tahun dan punya komitmen membangun smelter diberi juga kuota ekspor dalam jumlah tertentu dan waktu tertentu, tentunya ditambah dengan bea keluar bagi yang belum memperlihatkan progress smelternya seperti yang diatur oleh pemerintah, dalam hal ini menteri keuangan,” tandasnya.
Artikel ini ditulis oleh: