Jakarta, Aktual.com — Wakil Ketua Komisi VI DPR RI M. Hekal menilai kerjasama antara BUMN PT Hotel Indonesia Natour (HIN) dengan PT Grand Indonesia atau PT Cipta Karya Bumi Indah (CKBI) adalah perjanjian “akal-akalan”. Pasalnya, meski tak diketemukan kesalahan dalam dokumen perjanjian, namun poin kesepakatan terkesan diatur dan direncanakan.

“Kalau di cari, dalam perjanjian kesalahan dimana sebenarnya enggak ada, yang salah itu perjanjiannya sendiri. Kenapa bisa sampai clausul-clausulnya seperti itu,” ujar Hekal di DPR, Senayan, Jakarta, Selasa, (1/3).

Masalah yang lebih mudah, lanjut Hekal, bahwa persetujuan Menteri BUMN saat itu terhadap transaksi tersebut mengisyaratkan sertifikat tanah kepada Hotel Inna dan Hotel Indonesia tidak boleh digadaikan. Tetapi kemudian, diperjanjian ini diakali supaya sertifikat yang sudah ada diturunkan menjadi sertifikat HPL (Hak Pengelolaan).

“Kemudian mereka terbitkan sertifikat HGB (Hak Guna Bangunan) diatasnya, kemudian itu yang di agunkan. Dimana-dimana yang diagunkan HGB. Itu kan HGB yang diturunkan ke HPL terus kemudian sertifikat di atasnya itu yang agunkan. Ini kan ngakalin,” katanya

Hekal juga menilai penelaahan BPK pun kurang tajam. Sebab selain kerjasama diluar ketentuan yang ditaksir menelan kerugian negara sebesar Rp. 1,2 triliun, transaksi menurunkan sertifikat dari HGB ke HPL agar bisa digadaikan pun juga tak lazim .

“Tahun 2004. Surat menterinya kan boleh semua transaksi asal tanahnya tidak boleh digadaikan. Nah kmudian dilakukan transaksinya dengan menurunkan sertifikat yang sudah ada itu agak enggak lazim. Karena biasanya menaikkan menjadi sertifikat. Ini di turunkan setingkat supaya pecah diatasnya kemudian diagunkan,” ungkap Politisi Partai Gerindra itu

Sementara itu, lanjut Hekal, masih banyak permasalahan dan keanehan dalam perjanjian kerjasama tersebut. Karenanya, Komisi VI pun akan memperdalam persoalan tersebut kedalam panja Asset sembari menunggu perkembangan penyelidikan dari Kejaksaan Agung.

“Nanti diperdalam di panja asset. Sikap DPR bisa lebih keras bila dia (yang terlibat kerjasama) tidak bisa jelaskan soal struktur HGB dtrunkan jadi HPL, kemudian di terbitkan sertifikat di atasnya. Sementara kita juga tunggu hasil dari kejaksaan seperti apa,” tandas Hekal

Sebagai informasi, PT Cipta Karya Bumi Indah menjadi pemenang lelang pengelolaan Hotel Indonesia dan dilaksanakan perjanjian kerjasama dengan PT Hotel Indonesia Natour (persero) dengan sistem Built, operate, and transfer (BOT) atau membangun, mengelola, dan menyerahkan (bentuk kerjasama antara pemerintah dan swasta dalam rangka pembangunan suatu proyek infrastruktur) pada tahun 2004.

Kerjasama ini tentang pengelolaan empat objek fisik bangunan di atas tanah negara seluas 42.815 m2 untuk hotel bintang lima, pusat perbelanjaan I 80 ribu m2, pusat peebelanjaan II 90 ribu m2, dan fasilitas parkir 175 ribu m2. Namun kenyataannya, selain empat obyek yang disepakati, diam-diam PT CKBI menambah dua fasilitas baru tanpa pemberitahuan PT HIN yakni menara BCA dan Apartemen Kempinski. Pembangunan dua fasilitas ini diduga mengakibatkan pemasukan negara menjadi berkurang. Kawasan Hotel Indonesia dibawah pengelolaan PT Grand Indonesia, perusahaan yang bergerak di bidang properti ini adalah milik pengusaha grup Djarum, Robert Budi Hartono. Dalam hal ini Djarum menyediakan dana USD 154, 76 juta guna peremajaan Hotel Indonesia dan menjadi Grand Mall Indonesia.

Hasil audit BPK dengan jelas menyatakan kerjasama itu bermasalah. Diantaranya masa kontrak yang melebihi 30 tahun, kompensasi tidak sesuai dengan persentase pendapatan serta sertifikat hak guna bangunan dijaminkan CKBI dan Grand Indonesia ke pihak lain untuk pendanaan.

Dalam perpanjangan kontrak, awalnya PT HIN mengembangkan CKBI untuk kembangkan kawasan Hotel Indonesia selama 30 tahun dengan perhitungan kompensasi Rp305 miliar atau 25 persen dari NJOP. Kerja sama dimulai sejak 2004-2033.

Lalu kontrak diperpanjang 20 tahun menjadi 50 tahun. Perjanjian perpanjangan dilakukan pada 2010 dengan kompensasi Rp400 miliar. Nilai kontrak ini menurut BPK tidak layak. Selain itu, perpanjangan tidak lagi ditandatangani dengan CKBI tetapi dengan PT Grand Indonesia. Padahal dalam perjanjian awal, CKBI tidak boleh mengalihkan tanggung jawab pelaksanaan kerjasama kepada pihak lain.

Terlebih, sertifikat HGB telah diagunkan Grand Indonesia ke salah satu bank untuk memperoleh pendanaan. Padahal ketentuannya, mitra kerjasama CKBI dan Grand Indonesia tidak boleh mengagunkan tanah untuk mendapat pendanaan.

Artikel ini ditulis oleh: