Jakarta, Aktual.com — Merebaknya komentar Wakil Presiden JK diruang publik soal kekisruhan antara pembantu Presiden soal blok Masela pada dasarnya hanya ingin menggeser inti persoalan yang sangat esensial selalu dikritisi oleh Rizal Ramli. Persoalan itu antara lain Blok Masela, ketidakwajaran program pembangunan daya listrik 35.000 MW dalam 5 tahun dan sikap kementerian ESDM dalam menghadapi prilaku PT Freeport Indonesia.
Bahkan Wapres JK menyinggung ada menteri pandai-pandaian menambah nama di kementerian dengan nama “sumber daya” yang tidak sesuai dengan nomenklatur.
“Kalau kita mau jujur dan fair bahwa sesungguhnya sikap kritis Rizal Ramli yg ingin semua kegiatan pengelolaan sumber daya alam itu benar benar memberikan penghasilan yang sebesar besarnya untuk negara agar bisa memakmurkan rakyatnya, bukan untuk kepentingan orang asing dan cukong-cukong di belakangnya,” ujar Direktur eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin (7/3).
Menurutnya, Kepentingan asing dan cukong dengan sistematis membangun argumentasi dengan menggunakan media-media besar secara masiv dengan perhitungan yang secara tehnis dan ekonomis telah diungkap keruang publik untuk melawan kelompok-kelompok yang seolah olah bicara kepentingan rakyat. Akan tetapi, faktanya dapat diduga hanyalah untuk kepentingan investor.
Faktanya organisasi Ikatan Perusahaan Industri Kapal dan Lepas Pantai Indonesia ( IPERINDO ) sekjennya Ihksan Mahyudin menyatakan bahwa SKK Migas akan memesan kapal “floating procesing unit” lebih percaya galangan kapal di luar negeri daripada galangan kapal di dalam negeri.
“Lalu, bagaimana mungkin nanti kandungan lokal dan pengusahaan bidang industri kemaritiman bisa ikut berpatisipasi di blok Masela apabila dengan skema laut. Ini seperti istilah “jauh api dari panggangnya alias hanya akan jadi penonton yang abadi di blok Masela”. Sehingga komentar pak Jk soal ini bisa dianggap oleh publik seperti “muka buruk cermin dibelah,” tegas Yusri.
Seharusnya Wapres JK, lanjutnya, lebih mengkritisi temuan yang terungkap atas saran dan pertimbangan yang dibuat oleh konsultan Tridaya Advisory yang dikomandoi oleh mantan pejabat negara (Erry Riyana Harjapemengkas dan Kuntoro Mangkusubroto ) yang secara nyata dan sah telah memberikan saran kepada Inpex Masela untuk melawan negara dengan melanggar Peraturan Presiden nomor 10 tahun 2015.
“Kalau kita cerdas melihat irisannya mulai dari ‘Papa minta saham dan Joempa Kawan lama di blok Masela dan Papa bingung di Blok Masela’ sampai saat sekarang akan terlihat jelas benang merah peran mereka pada setiap kebijakan kementerian ESDM terhadap sektor energi,” jelasnya.
Yusri menduga ada pengaruh dari mantan-mantan staff komandan juga yang ikut dulu dalam pembuatan Kontrak Karya PT Freeport 1991 dan membidangi lahirnya UU Migas nomot 22 tahun 2001. Hasilnya, saat ini impor minyak Indonesia jadi sekitar 900.000 barrel perhari dan biaya penerimaan negara dari sektor migas PNBP hanya sebesar USD12,86 miliar dengan pengeluaran untuk biaya eksplorasi dan produksi tahun 2015 dengan mekanisme “cost recovery” sebesar USD13,9 miliar.
“Bandar tekor USD1, 04 miliar dan terjadi juga dalam kasus Blok Mahakam, kasus Petral, infrastruktur pembangkit listrik 35.000 MW, revitalisasi dan pembangunan kilang serta infrastruktur migas lainnya, Tambang Emas Freeport dan terakhir merebak pada kekisruhan status skema laut atau darat gas lapangan abadi akan dikelolanya,” jelasnya.
“Sudah seharusnya komandan yang sejati tidak boleh lama bersembunyi melihat pertempuran antara sesama panglima perangnya dari sektor barat dengan sektor timur yang diikuti panglima sagoe nya, supaya rakyat tidak semakin bingung kenapa komandannya terlalu lama bersembunyi di blok Masela,” ujarnya.
Bangsa ini, lanjutnya, hanya bisa perang kota saja dan tidak biasa dan berani perang di laut dan di pantai daratan. Sementara para panglima perang akan terus bertempur karena sudah menganggap bahwa Komandan tidak paham soal perang di laut dan perang di darat, mungkin hanya sedikit paham perang dikota.
“Sehingga memunculkan hulubalang hulubalang yang berkomentar di sekitar komandan. Janganlah sampai Jendral Naga Bonar yang akan berteriak ‘apa kata dunia’,” pungkasnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka