Jakarta, Aktual.com – Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jakarta Barat hingga kini belum mengalihkan status lahan RS Sumber Waras yang dibeli Pemprov DKI pada 2014 silam.

“Kami diminta tahan dulu, karena lagi berkasus,” ujar sumber di BPN Jakbar kepada Aktual.com, Senin (7/3).

Hingga kini, imbuh sumber yang enggan disebutkan identitasnya itu, menerangkan, Pemprov DKI pun belum menyerahkan dokumen terkait untuk proses alih nama.

“Bagaimana mau kerja kalau dokumennya enggak ada,” jelasnya.

Padahal, berdasarkan dokumen pelaksanaan perubahan anggaran (DPPA) SKPD No. 30/DPPA/2014 tertanggal 10 November 2014, telah dianggarkan biaya pengurusan sertifikat tanah dan balik nama.

Besaran anggarannya mencapai Rp22,67 miliar atau tiga persen dari total pembelian sebesar Rp755,689 miliar.

Diketahui, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) DKI melalui laporan hasil pemeriksaan (LHP) atas APBD 2014, memberikan beberapa catatan atas program pemerintah provinsi (pemprov). Salah satunya, pembelian lahan RS Sumber Waras senilai Rp800 miliar.

Proyek tersebut, menurut LHP BPK, terindikasi merugikan daerah Rp191-484 miliar, lantatan harga belinya di atas nilai jual objek pajak (NJOP) ataupun lebih mahal dari perjanjian antara Yayasan Kesehatan Sumber Waras (YKSW) dengan PT Ciputra Karya Unggul (CKU).

DPRD DKI melalui Panitia Khusus (Pansus) LHP, juga menyoroti masalah tersebut, selain lima temuan lain. Saat diparipurnakan, dewan pun merekomendasikan kasus itu ditindaklanjuti ke aparat penegak hukum.

Gayung bersambut, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun telah melakukan penyelidikan. Bahkan, berdasarkan informasi yang dihimpun, ada beberapa pejabat DKI yang telah dipanggil dan diperiksa.

Komisi antirasuah juga telah menerima audit investigasi Sumber Waras dari BPK RI, setelah sebelumnya meminta kepada auditor negara tersebut.

Disisi lain, Ahok tak menindaklanjuti rekomendasi BPK atas pembelian lahan itu, seperti membatalkan transaksi. Padahal, Pasal 3 Peraturan BPK No. 2/2010 dan UU No. 15/2006, mengamanatkan rekomendasi tersebut harus diikuti kepala daerah.

Dalih politikus yang pernah menjadi kader tiga partai ini, “Saya tak terima dibilang pembelian lahan itu kemahalan.”

Bahkan, Ahok mengklaim, pembelian lahan seluas 3,6 ha tersebut telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan menyebut BPK tak berkewenangan mengatur-atur kepala daerah.

“Terserah saya, dong. Sejak kapan BPK jadi atur-atur kami beli lahan? Itu urusan kami!” tandas bekas calon gubernur Sumatera Utara dan Bangka Belitung ini.

Artikel ini ditulis oleh: