Jakarta, Aktual.com — Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dalam pernyataannya untuk memperingati Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret 2016 mengatakan bahwa ketidakadilan dan diskriminasi masih melanda perempuan yang bekerja di perusahaan-perusahaan media massa.

Perlakuan negatif tersebut tidak banyak berubah dibandingkan kondisi akhir tahun 2015, demikian Pengurus Nasional AJI Bidang Perempuan dan Kelompok Marjinal Endah Lismartini dalam keterangan tertulis yang diterima Antara di Jakarta, Rabu (9/3).

Sebagai contoh, masih ada media yang mengategorikan karyawan perempuan sebagai lajang, meski sebenarnya mereka sudah berkeluarga bahkan telah memiliki anak.

“Ini membuat perempuan tidak mendapatkan hak untuk mendapatkan fasilitas tunjangan keluarga, termasuk asuransi kesehatan untuk suami dan anak,” kata Endah.

Padahal tugas dan tanggung jawab semua orang di ruang redaksi, termasuk jurnalis perempuan adalah sama, ujarnya.

Endah mengatakan banyak media yang menggunakan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 sebagai acuan dalam hal pengupahan untuk pekerja perempuan. Padahal sebenarnya media harus menyandarkan diri pada Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 yang tidak mengenal diskriminasi gender dalam hal pemenuhan hak-hak normatif tenaga kerja.

Selain itu, AJI juga mengkritisi tentang masih sedikitnya ketersediaan ruang menyusui. Kalaupun ada, bilik laktasi itu tidak memenuhi syarat kenyamanan karena posisinya salah atau jumlahnya tidak sebanding dengan kebutuhan.

“Padahal perhatian media pada kesehatan anak akan mendukung produktivitas seluruh pekerja media,” tutur Endah.

Ketimpangan jumlah antara pegawai laki-laki dan perempuan juga menjadi sorotan, di mana jumlah karyawan pria lebih tinggi dibandingkan perempuan. Penelitian terbaru AJI di sebuah stasiun radio nasional menunjukkan ada 45 persen pegawai perempuan dan 55 persen laki-laki.

Ditambah lagi, dari 900 jabatan struktural, perempuan hanya mengisi sekitar 300 jabatan dan dominan pada level administratif.

AJI juga menyoroti belum adanya kebijakan serta saluran khusus pengaduan intimidasi dan pelecehan seksual di perusahaan media massa.

“Tidak ada standar penanganan yang jelas. Kasus pelecehan di ruang kerja banyak terabaikan,” kata Endah.

AJI menekankan bahwa permasalahan-permasalahan ini menjadi pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan demi meningkatkan kesejahteraan para jurnalis perempuan di Indonesia.

Mereka pun mendesak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) bersama Kementerian Ketenagakerjaan untuk memastikan terpenuhinya hak-hak pekerja perempuan sesuai ketentuan undang-undang.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara
Arbie Marwan