Jakarta, Aktual.com — Kegaduhan antara Menko Maritim dan sumber Daya Rizal Ramli dengan Menteri ESDM Sudirman Said terkait perdebatan Blok Masela soal skema offshore atau onshore membuat berbagai kalangan geram. Tak terkecuali Komisi VII DPR yang menjadi mitra kerja kementrian yang mengurusi migas dan minerba.

Anggota Komisi VII DPR RI dari FPDIP, Adian Napitupulu menilai perdebatan tersebut terjadi karena adanya ketidak konsistenan para pejabat disekitar Kemenko Maritim dan Kemen ESDM soal blok masela tersebut.

Adian mengungkapkan ketidak konsistenan itu berdasarkan infomasi yang didapatkan pada 25 november 2010, Haposan Napitupulu sebagai deputi perencanaan BP migas, mengeluarkan memorandum yang ditujukan kepada kepala BP migas dengan no.0885/BPA0000/2010/S1 perihal pengembangan lapangan abadi blok masela.

“Dalam surat itu pada butir kedua huruf d, Haposan menyampaikan bahwa diperlukan tambahan waktu sekitar 16 bulan untuk melaksanakan FEED FLNG berkapasitas 2,5 MPTA,” ujar Adian di Jakarta, Rabu (9/3).

Jadi, lanjutnya, apa yang disampaikan oleh Haposan Napitupulu tahun 2010 lalu, dalam kapasitasnya sebagai Deputi perencanaan BP Migas jelas-jelas mendukung pengelolaan blok migas abadi masela dilakukan dalam bentuk kilang terapung (FLNG).

“Namun hari ini ketika ia menjadi staf Menko Maritim sikap Haposan justru berubah 180 derajat. Haposan yang saat menjabat deputi BP Migas menyetujui kilang terapung, saat ini berbalik mendukung pengelolaan blok Masela dalam bentuk kilang darat,” jelas Adian.

Selain itu, Politisi PDIP itu juga mengungkapkan ketidak konsistenan sikap yang dilakukan oleh Haposan serupa dengan ketidak konsistenan mantan Dirjen minerba kementrian ESDM, Sukhyar.

“Bulan Juni 2014, Sukhyar sebagai Dirjen Minerba bertemu dengan Freeport dan membuat memorandum of understanding antara Freeport dan Indonesia yang diwakili oleh Sukhyar,”

“Secara substansi MOU itu merupakan persetujuan terhadap perpanjangan kontrak karya Freeport dengan beberapa syarat. Sebab, pada 15 Oktober 2015 menteri ESDM Sudirman Said mengeluarkan surat jawaban pada PT. Freeport dengan no.7582/19/ESDM/2015,” ungkap Adian.

Adian menambahkan, pada point ke 4 surat tersebut merujuk pada MOU antara Freeport dan pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Dirjen Minerba saat itu yaitu Sukhyar.

“Ketika perpanjangan kontrak Freeport menjadi polemik di Masyarakat, Sukhyar justru tidak memberikan penjelasan apapun terkait MOU yang dibuatnya, yang digunakan oleh menteri ESDM Sudirman Said sebagai rujukan. Kediaman Sukhyar berikut hari membuat polemik perpanjangan kontrak freeport ini menjadi bola liar yang menggiring opini publik bahwa perpanjangan kontrak Freeport merupakan keinginan Presiden Jokowi.

Polemik yang menjadi bola liar ini tentu tidak akan terjadi jika Sukhyar yang saat ini konon sudah menjadi salah satu staf Menko Maritim berani berbicara apa adanya serta bertanggung jawab pada MOU yang ditandatanganinya bersama Freeport,” papar dia.

Menurutnya, akibat dari Ketidak konsistenan dua Staf Kemenko Maritim, Haposan Napitupulu dan Sukhyar ternyata telah melahirkan polemik-polemik baru yang tidak perlu bahkan berpotensi menjadi blunder politik yang terkesan mengadu domba dua menteri Jokowi.

Untuk itu, kata Adian, Komisi VII DPR RI perlu memanggil kedua orang tersebut untuk menjelaskan perpanjangan kontrak Freeport dan blok Masela yang saat ini terlihat sudah kehilangan kronologis obyektifnya.

“Langkah Komisi VII ini merupakan kombinasi dari tugas pengawasan dan juga budgeting anggaran, terlebih lagi ada uang yang sangat besar dalam dua kasus ini seperti berapa keuntungan negara dalam divestasi saham Freeport dan berapa cost recovery yang akan dibayarkan negara pada pengelolaan blok migas abadi masela,” tandasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Nebby