Jakarta, Aktual.com — Ipsos Business Consulting melihat Indonesia bisa memiliki peluang untuk menjadi pusat produksi mobil di kawasan Asia Tenggara (ASEAN) bahkan perlahan dapat menggantikan posisi Thailand.
“Buktinya tren output produksi kendaraan, kebijakan, dan infrastruktur terus mengalami perbaikan, diikuti dengan peningkatan kapasitas produksi, konsumsi domestik, dan volume ekspor,” kata Kepala sektor otomotif global Ipsos Business Consulting, Marcus Scherer di Jakarta, Rabu (9/3).
Marcus berharap para pemangku kebijakan serta produsen otomotif dapat mempertimbangkan hal ini ke depannya karena akan memberikan implikasi besar dalam hal suplai suku cadang otomotif.
Selama ini, Thailand telah menjadi produsen mobil terbesar di Asia Tenggara dengan volume produksi per tahun sekitar 2 juta unit dibandingkan Indonesia dengan jumlah sekitar 1,1 juta unit di tahun 2015.
Indonesia belum mampu mengimbangi Thailand dalam membangun pasar ekspor. Indonesia mengekspor hanya 23 persen dari produksi domestiknya di tahun 2015, sementara Thailand mampu mengekspor hingga 55 persen.
Di tahun 2015, kesenjangan produksi antara dua negara adalah sekitar 810.000 unit, namun pada tahun 2020, selisihnya diperkirakan mengecil menjadi hanya 465.000 unit.
Agar Indonesia dapat menggantikan Thailand sebagai pusat produksi mobil nomor satu di ASEAN, kesenjangan tersebut harus dapat diatasi melalui berbagai kombinasi solusi, jelas Marcus.
Solusinya berupa peningkatan utilitasi pabrik. Di tahun 2015, Indonesia memiliki kapasitas produksi terpasang hingga 2 juta unit kendaraan, namun hanya sekitar 62 persen yang dimanfaatkan. Selain juga dapat melakukan peningkatan investasi lanjutan hingga 2,6 miliar dolar AS untuk pembuatan pabrik baru atau untuk peningkatan kapasitas pabrik, dengan asumsi tingkat utilisasi tetap sama.
Laporan Ipsos terbaru menekankan meskipun kesuksesan ekspor saat ini belum signifikan, Indonesia memiliki potensi pertumbuhan domestik yang luar biasa. Hal ini dapat mendorong para investor untuk mengharapkan pertumbuhan penjualan yang solid jika mereka mampu mendapatkan posisi yang tepat di pasar.
Douglas Cassidy, Direktur Ipsos Business Consulting Indonesia, menyampaikan pemain otomotif global yang belum memiliki basis produksi yang signifikan di Indonesia akan semakin mempertanyakan apakah mereka telah diposisikan dengan tepat untuk memperoleh pangsa pasar di ASEAN yang jumlah penduduknya telah mencapai lebih dari 600 juta jiwa.
Selain itu apakah mereka dapat mempertahankan pangsa pasar yang sudah ada karena perusahaan lain akan berekspansi ke Indonesia dan Asia secara umum, ujar dia.
Chukiat Wongtaveerat, Manajer Konsultasi Senior Ipsos Bangkok setuju dengan analisa Cassidy mengenai situasi pasar saat ini namun menilai bahwa Thailand masih dapat melindungi industri otomotifnya.
Wongtaveerat mencatat bahwa beberapa produsen otomotif ternama telah mengumumkan strategi untuk keluar dari pasar Indonesia, terutama Ford Motor Company dan General Motors.
Ia mengatakan bahwa pemain terkemuka lainnya, seperti Volkswagen, Hyundai dan Mazda belum mampu mengomunikasikan strategi yang jelas untuk mengamankan pangsa pasar yang kuat dan menguntungkan di kedua negara tersebut. khususnya terkait dengan Indonesia, yang membutuhkan regulasi yang stabil dan pembangunan infrastruktur pendukung otomotif yang berkelanjutan dalam menghadapi penurunan angka penjualan saat ini.
“Begitu hal ini terjadi, kita akan melihat ‘efek domino’, dengan beberapa OEM lain yang belum memiliki basis produksi di tanah air untuk membangun pabrik dan melakukan ekspansi agresif pada jaringan diler mereka,” kata Wongtaveerat.
Di sisi lain, iklim usaha di Indonesia saat ini tidak terlalu menguntungkan pemain industri otomotif. Menurut indeks ‘ease of doing businesss’ oleh Bank Dunia, Indonesia berada di posisi 109 dari 198 negara, sementara Thailand ada di posisi 49.
Namun pemerintah Indonesia telah menargetkan kenaikan ke posisi 40 pada tahun 2018. Perbaikan signifikan yang sedemikian rupa, jika ingin dicapai, jelas membutuhkan fokus terus menerus dari pembuat kebijakan.
Scherer mencatat perkembangan yang ada saat ini menunjukkan tren positif seperti kelonggaran aturan kepemilikan asing di daftar negative investasi dan prosedur aplikasi perizinan yang disederhanakan.
Artikel ini ditulis oleh:
Antara
Arbie Marwan