Jakarta, Aktual.com — Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan kebijakan Bank Sentral Eropa (ECB) yang baru memperluas program pembelian aset (Quantitative Easing) hingga 80 miliar euro mulai April mendatang, belum tentu berpengaruh positif ke Indonesia.
“Saya rasa agak berbeda, karena stimulus (moneter) yang dilakukan Eropa dan Jepang, berbeda ketika Amerika Serikat melakukan ‘Quantitative Easing‘,” kata Bambang di Jakarta, Jumat (11/3).
Bambang menjelaskan ketika Bank Sentral AS melakukan stimulus moneter, imbasnya berpengaruh secara global karena hanya dilakukan oleh negara tersebut, sehingga pasokan dolar AS lari ke negara berkembang termasuk Indonesia.
“Tidak seperti dulu, di mana ‘emerging economy‘, tidak melihat fundamentalnya, semuanya didatangi oleh ‘inflow‘. Kalau sekarang mereka sangat selektif, kondisinya berbeda,” jelas Bambang.
Saat ini, setelah adanya program pembelian aset yang tidak hanya dilakukan Bank Sentral Eropa, namun juga Bank Sentral Jepang, pasokan dana justru bisa tertarik ke AS yang sedang melakukan pembenahan dalam ekonominya.
“Ketika Eropa dan Jepang melakukan semacam stimulus, pada saat yang sama AS akan berusaha menarik. Kondisinya jadi beda sekali. Dampaknya, mungkin kalau kita keluarkan surat utang (berdenominasi) Euro baru akan baik,” kata Bambang.
Sebelumnya, Dewan Gubernur ECB mengejutkan pasar keuangan global dengan mengeluarkan sejumlah kebijakan secara dramatis yaitu memangkas sejumlah suku bunga dan memperluas program pembelian aset pada Kamis waktu setempat.
Suku bunga acuan akan mengalami penurunan dari 0,05 persen menjadi nol persen dan suku bunga fasilitas deposito turun dari sebelumnya minus 0,3 persen menjadi minus 0,4 persen, mulai Rabu (16/3).
Program stimulus moneter itu dilakukan bertujuan untuk memompa likuiditas ke pasar keuangan sekaligus menggerakkan perekonomian Eropa yang selama ini stagnan dan terdampak oleh turunnya harga minyak serta perlambatan ekonomi Tiongkok.
Sementara itu, Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo mengatakan kebijakan moneter yang dilakukan Bank Sentral Eropa harus direspon dengan sinergi kebijakan di sektor fiskal dan riil, agar tidak berdampak negatif ke perekonomian nasional.
“Ini sejalan dengan kebijakan di G20, respon moneter harus didukung dengan kebijakan sektor riil dan fiskal. Kalau seandainya paket kebijakan reformasi dilakukan pemerintah maka tentunya ada koordinasi dengan mengajak moneter,” katanya.
Menurut dia, stimulus moneter dengan menyesuaikan suku bunga negatif, seperti yang terjadi di Eropa dan Jepang, akan memiliki batas waktu tertentu, karena hal itu dalam jangka panjang tidak sepenuhnya efektif bagi perekonomian.
“Kami melihat, memang kebijakan moneter yang ‘unconventional’ atau tidak biasa harus ada batasnya. Kalau tidak, akan membuat semua berlomba-lomba untuk membuat kebijakan ‘unconventional’,” ungkap Agus.
Artikel ini ditulis oleh:
Antara
Arbie Marwan