Jakarta, Aktual.com — Harga minyak berakhir lebih rendah pada Selasa (15/3) pagi WIB, dipicu keraguan baru bahwa OPEC akan mengupayakan rencana pembekuan produksi di tengah kelebihan pasokan global, karena Iran mengindikasikan tidak siap untuk berkomitmen dalam waktu dekat.

Patokan AS, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman April, merosot 1,32 dolar AS (3,4 persen) menjadi menetap di 37,18 dolar AS per barel di New York Mercantile Exchange.

Di London, minyak mentah Brent North Sea untuk pengiriman Mei, patokan Eropa untuk minyak, berakhir pada 39,53 dolar AS per barel, turun 86 sen (2,1 persen) dari penutupan Jumat.

Penurunan di pasar pada Senin, menyusul “rebound” pada Jumat, mencerminkan “kekhawatiran tentang apakah OPEC akan menggelar pertemuan gabungan,” kata Phil Flynn dari Price Futures Group.

Menteri Energi Rusia Alexander Novak mengatakan pada Senin bahwa pertemuan OPEC dan produsen minyak non-OPEC untuk membahas kesepakatan pembekuan tingkat produksi, kemungkinan akan berlangsung pada April bukannya bulan ini, seperti perkiraan awal.

Rusia dan tiga produsen OPEC — Arab Saudi, Venezuela dan Qatar — mengatakan pada Februari bahwa mereka siap untuk membekukan produksi pada tingkat Januari jika negara-negara penghasil minyak lainnya bergabung dengan inisiatif mereka.

Tetapi Iran dikabarkan pada akhir pekan mengumumkan bahwa ia hanya akan bergabung dengan potensi pembatasan produksi setelah produksinya mencapai tingkat pra-sanksi 4,0 juta barel per hari (bph).

“Posisi Iran adalah bahwa negaranya perlu untuk mengambil tingkat produksi pra-sanksi dalam kerangka kuota OPEC,” kata Novak. “Negara ini bisa bergabung membekukan nanti.” Menurut laporan bulanan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) yang dirilis pada Senin, Iran memproduksi 3,1 juta barel minyak mentah per hari pada Februari, naik dari 2,9 juta pada Januari.

Secara keseluruhan produksi oleh kartel 13 negara itu turun 175.000 barel per hari pada Februari menjadi rata-rata 32,28 juta barel per hari, terutama karena penurunan tajam di Irak dan karena karena tingkat produksi lebih rendah di Nigeria dan Uni Emirat Arab, kata laporan itu.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara
Arbie Marwan