Jakarta, Aktual.com — Ketua Badan Eksekutif Nasional (BEN) Solidaritas Perempuan (SP) Puspa Dewy mengatakan, DPR tidak mempertimbangkan masukan mereka dan sejumlah masyarakat sipil lainnya untuk memastikan pengakuan dan memperkuat perlindungan perempuan dalam Undang-Undang yang telah disahkan DPR.
“Pemerintah dan DPR mencederai perjuangan perempuan dengan mengingkari peran perempuan yang sangat signifikan di sektor perikanan. Ini terbukti dengan tidak diakuinya identitas perempuan nelayan di dalam UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam yang disahkan DPR RI pada Selasa, 13 Maret kemarin,” kata Puspa dalam pernyataan yang diterima Aktual, Rabu (16/3).
Puspa menilai, DPR justru mengkebiri hak perempuan dalam UU tersebut. Padahal, beberapa waktu yang lalu dalam rancangan UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya ikan dan Petambak Garam tercantum jaminan hak-hak perempuan nelayan.
“Ini justru hilang. Ini adalah bentuk pelanggaran negara terhadap hak perempuan,” paparnya.
Padahal, ujar dia, di draft tanggal 27 Agustus 2015 yang diterima Solidaritas Perempuan, masih ada sejumlah pasal yang menyebutkan perempuan sebagai entitas yang juga berhak untuk dilindungi dan diberdayakan.
“Namun dalam draft yang disahkan, perempuan hanya disebutkan dalam Pasal 45 sebagai bagian dari rumah tangga nelayan, pembudidaya ikan dan petambak garam yang harus diperhatikan keterlibatannya dalam kegiatan pemberdayaan,” kata dia.
Menurut dia, pendefinisian “setiap orang” tanpa eksplisit menyebutkan “laki-laki dan perempuan” sebagai subyek hukum dalam UU ini, berpotensi tidak memperhitungkan situasi dan kepentingan perempuan untuk masuk di dalamnya.
“Hal ini karena sistem budaya patriarkhi yang masih melihat perempuan kelompok kelas nomor dua dan dianggap bisa diwakili/identitasnya dilekatkan pada suami/ayah/saudara laki-lakinya,” kata dia.
Sehingga pada praktiknya, ujar dia, “setiap orang” akan diterjemahkan sebagai laki-laki an sich. Terlebih karakteristik laut yang diidentikkan dengan maskulinitas, seringkali dianggap sebagai ranah yang tidak mungkin menjadi wilayah kelola perempuan.
Dengan begitu, menurut dia, Negara semakin jelas mengukuhkan sistem partiarkhi yang tidak melihat perempuan sebagai pemangku kepentingan yang berperan sangat penting dalam pengelolaan pesisir.
Padahal, kata dia, peran perempuan di sektor perikanan sangat signifikan. Mulai dari pra-panen/produksi, panen, pasca panen dan bahkan hingga pangan tersedia untuk keluarga.
Selain sebagian dari perempuan juga melaut untuk menangkap ikan, umumnya perempuan pesisir berperan dalam tugas-tugas subsisten pra dan pasca panen. Usaha pemindangan, pengeringan ikan, pencari kerang, perdagangan ikan segar/kerang dan pembuatan petis adalah aktivitas yang dilakukan perempuan pesisir.
“Perempuan juga bekerja di usaha kecil pembuatan kerupuk ikan yang menggunakan bahan baku ikan laut,” kata dia.
Puspa menyebut, pemerintah dan DPR menutup mata atas ancaman nyata yang saat ini dihadapi nelayan untuk “dialih-profesikan” menjadi buruh, pemulung, dan lainnya maupun ancaman perampasan tempat tinggal dan wilayah kelola akibat tergusur oleh proyek yang mengatasnamakan pembangunan seperti reklamasi.
Pengesahan UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam telah melanggar CEDAW yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No. 7 Tahun 1984.
“UU ini telah secara nyata mendiskriminasikan dan meminggirkan akses, kontrol dan hak perempuan nelayan/pesisir dalam mengelola dan memanfaatkan sumber kehidupannya” tandas Puspa.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka