Jakarta, Aktual.com — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) terus bekerjasama mencegah adanya ‘politik balas budi’ usai penyelenggaraan Pilkada 2017 dan 2018. Kerja sama itu dilakukan dengan mengawasi aliran dana sumbangan kampanye kepada para calon peserta Pilkada.
Wakil Ketua KPK Laode Syarief mengakui bahwa pihaknya menemukan modus besaran sumbangan yang melebihi aturan. Maka dari itu KPU menerapkan, jika untuk perorangan maksimal sumbangan dana kapmpanye sebesar Rp 50 juta.
Sedangkan kelompok atau badan hukum swasta seperti perusahaan, bisa menyumbang maksimal sebanyak Rp 500 juta.
Nah, sumbangan inilah yang akan dipantau secara impresif oleh KPK dan KPU. Pasalnya, sumbangan ini kerap dimanfaatkan oleh beberapa penyumbang agar bisa memberikan nominal yang lebih besar.
“Yang dikemukakan oleh Ketua KPU, soal batasan Rp 50 juta dan Rp 500 juta, menurut yang kami dapatkan dari studi itu ada perusahaan yang menyetor Rp 2 miliar. Tetapi supaya itu diterima, maka dipecah-pecah menjadi 4 nama-nama yang lain,” kata Syarief di kantor KPU, Senin (21/3).
Modus seperti ini, sambung dia, memang agak sulit ditelusuri oleh KPU, khususnya soal asal muasal uang. Untuk itu, pihaknya bersama KPU meminta masyarakat membantu memonitor hal ini.
Dalam kesempatan kali ini Syarief juga menyatakan, selama ini laporan tentang penerimaan dan pengeluaran dana kampanye masih belum jelas.
“Ya, hal-hal seperti itu. Makanya transparansi dan akuntabilitasnya ditingkatkan ke depan. Sanksinya tergantung Pak Ketua KPU,” tutur Syarief.
Sementara itu, Ketua KPU Husni Kamil Malik menjelaskan aturan terkait sumbangan dana itu hanya berlaku selama masa kampanye. Namun menurut dia, penerimaan dana sumbangan itu harus jelas asal muasalnya.
Yang harus diperjelas adalah nama pemberi sumbangan dan lain sebagainya. Hal ini juga berlaku bagi penyumbang dana kampanye yang berasal dari perusahaan. Pemberi sumbangan korporasi harus jelas terdata dan dilaporkan nantinya.
Terkait aturan sumbangan dana kampanye ini, menjadi menarik ketika kita memutar balik waktu. Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahya Purnama atau Ahok mengaku bahwa pihaknya menerima sumbangan ketika Pilkada 2012 lalu, saat mencalonkan diri sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Sumbangan itu pun nominalnya cukup besar yaitu Rp 4,5 miliar. Uang tersebut diberikan oleh 9 perusahaan dengan nominal masing-masing Rp 500 juta.
Menurut Ahok pemberian uang tersebut bersumber dari seorang pengusaha yaitu Hamid Djojonegoro yang tak lain petinggi dari ABC Group. Ia berhasil melobi Hamid untuk membantunya memberikan dana demi keperluan saksi saat Pilkada.
Cawagub yang waktu itu diusung Partai Gerindra itu mengatakan, bahwa Hamid tidak mempermasalahkan perusahannya secara terang-terangan memberikan dana besar kampanye dirinya. Dan Ahok juga mengakui bahwa 9 perusahaan itu sebenarnya adalah pemecahan karena dalam aturan KPU hanya bisa menyumbang maksimal Rp 500 juta.
Dan saat ini, diketahui Ahok sudah terang-terangan mendeklarasikan baha dia akan kembali mencalonkan diri di Pilkada DKI 2017.
Artikel ini ditulis oleh:
Nebby