Jakarta, Aktual.com — Pemerintah melalui Kementerian Keuangan dalam beberapa pekan terakhir getol menerbitkan surat berharga negara (SBN) baik itu obligasi maupun sukuk (obligasi syariah).

Langkah ini ditempuh pemerintah untuk menutup defisit anggaran dalam APBN yang diperkirakan di tahun ini masih tetap akan besar.

“Karena dari penerimaan pajak dipastikan kembali tidak akan mencapai target, maka pilihan pemerintah adalah dengan berutang. Tapi utang dalam negeri,” jelas Direktur PT Penilai Harga Efek Indonesia (Indonesia Bond Pricing Agency/IBPA), Wahyu Trenggono, di Jakarta, Kamis (24/3).

Seperti diketahui, di semester pertama ini pemerintah mengejar target penerbitan surat utang mencapai Rp369 triliun atau sebesar 68 persen, dari total pembiayaan utang hingga akhir tahun yang mencapai Rp542 triliun.

Dari keseluruhan penerbitan surat utang itu, 70 persennya SBN berdenominasi rupiah dan 30 persennya berdenominasi valuta asing, yaitu euro bond atau samurai bond (yen).

“Pinjaman dalam negeri ini dianggap menguntungkan pemerintah. Karena tidak didikte kepentingan asing serta tidak ada risiko mata uang,” jelas dia.

Akan tetapi, meski bagus utang ke masyarakatnya, tetap saja penggunaannya itu harus produktif. Dalam arti digunakan untuk pembangunan. Sehingga akan berdampak kepada pembangunan.

“Mestinya sih jangan hanya untuk menutup defisit. Bagus kalau untuk membangun infrastruktur. Sehingga pinjaman 100, misalnya, dapat menghasilkan 200,” sebut Wahyu.

“Jadi jangan sampai utang-utang itu digunakan untuk ysng tidak produktif,” ingatnya lagi.

Dia kembali melanjutkan, kendati surat utang yang diterbitkan pemerintah itu cukup masif, dia menilainya masih dalam kondisi wajar jika dikaitkan dengan jumlah Pendapatan Domestik Bruto (PDB) pemerintah.

“Di AS (Amerika Serikat) itu rasio utang dalam negerinya 100 persen terhadap PDB-nya. Kalau kita baru 25-30 persen,” ucap dia.

Apalagi, SBN ini memang tidak ada potensi gagal bayarnya (default), sehingga dianggap menarik bagi investor.

“Risikonya itu disebut risk free. Untuk itu, mestinya memang pemerintah harus lebih baik lagi dalam mengelola utang ini,” pinta dia.

Apalagi memang, jika ada apa-apa, bagi pemerintah solusinya mudah. Pemerintah, kata dia, tinggal banyak mencetak uang saja untuk melunasi utang itu.

Hanya memang masalahnya, dampaknya itu ke tingkat inflasi di masyarakat yang harus diperhatikan. Jika hal itu terjadi dalam kondisi inflasi tinggi itu tidak baik.

Selain itu, sekalipun secara teori dianggap risk free, namun tetap saja ada potensi penyalahgunaan dana utangan ini.

“Jangan sampai ada kebocoran dari dana utang ini. Seperti korupsi, pemborosan atau kepentingan-kepentingan subsidi yang berlebihan,” tandas dia.

Maraknya pemerintah menerbitkan surat utang ini, memang banyak disorot publik juga. Karena dengan tenor yang panjang, sekitar 10-30 tahun tentu sangat membebani pemerintahan yang akan datang.

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan