Jakarta, Aktual.com — Maraknya bisnis transportasi online, terutama untuk jenis taksi, sangat dikeluhkan oleh pengemudi taksi konvensional hingga kemudian memunculkan aksi demonstrasi besar-besaran.
Untuk itu, kuncinya ada di tangan pemerintah. Satu sisi regulator tidak bisa menutup perusahaan penyedia aplikasi seenaknya, tapi mestinya mengaturnya. Sehingga ada playing field atau lapangan main yang sama-sama rata.
“Memang yang terpenting, pemerintah mau mengatur dengan baik. Sehingga pelaku transportasi online juga diatur sama dengan transportasi konvensional, seperti Blue Bird dan Ekspres,” terang pengamat IT, Rahman Mangussara saat diskusi di Gado-Gado Boplo di Jakarta, Sabtu (26/3).
Cuma masalahnya, selama ini kebijakan yang diterbitkan pemerintah relatif kalah cepat dari perkembangan teknologi itu sendiri.
“Pemerintah memang tidak boleh asal tutup (perusahaan aplikasi). Tapi cari solusi keduanya. Selama ini, perkembangan teknologi memang bisa 1-2 langkah di depan pemerintah,” paparnya.
Untuk itu, salah satu aturan terbaik adalah buka lapangan main yang sama ratanya. Sehingg ekses kemarahan dari pelaku konvensional juga tidak berlebihan.
Karena selama ini, kata Rahman, pelaku bisnis konvensional selalu mengeluh pebisnis transportasi online tidak di-regulated banyak aturan, seperti dirinya. Maka, pelaku bisnis seperti Uber Taksi dan GrabTaxi juga harus ikut aturan main.
“Ini memang jadi faktor keadilan berbisnis. Satu sisi, pelaku bisnis online bisa naik-turunkan harga seenaknya, sementara pelaku konvensional tidak bisa seperti itu. Makanya, lapangannnya harus sama-sama rata,” terang dia.
Cuma ia kembali ingatkan pemerintah, ke depan bisnis online itu akan menjadi bisnis yang luar biasa. Jadi terlepas dari kasus taksi online ini, pemerintah harus siap dengan aturan main yang kuat.
“Yang penting jangan asal tutup. Kita ambil contoh di China. Pelaku bisnis online seperti Alibaba ternyata berkontribusi 8 persen dari seluruh transaksi ritel di China,” tegas Rahman.
Di tempat yang sama, pelaku bisnis online Naufal Firman Yursak menyebutkan, pemerintah jangan hanya diam. Harus bertindak cepat mencari solusinya, jangan sampai setelah ada kericuhan baru bergerak lagi.
“Pemerintah harus fokus mengatasi fenomena bisnis berbasis teknologi yang kian masif ini. Bahkan kalau perlu, bentuk lembaga khusus yang mengatur bisnis online ini, tidak hanya sekadar kementerian,” terang dia.
Apalagi selama ini, katanya, pasar Indonesia menjadi pasar media sosial yang masuk sebagai captive market yang besar.
“Untuk pelaku internet mencapai 83 juta, yang mengakses Facebook sebanyak 69 juta, dan twitter sejumlah 45 juta. Jadi bisnis online juga jadi laku. Dulu bisnis door to door, sekarang bisa via smartphone. Maka kebijakan pemerintah jangan ketinggalan,” papar dia.
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan