Jakarta, Aktual.com — Penyidik pidana khusus Kejaksaan Agung (Kejagung) mengagendakan pemeriksaan Direktur Utama PT BCA terkait dugaan korupsi penyalahgunaan kontrak pengelolaan lahan Menara BCA dan Apartemen Kempinski.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Amir Yanto mengatakan, pemanggilan tersebut ditujukan kepada Direktur Utama BCA yang saat ini menjabat untuk diperiksa sebagai saksi dalam kasus tersebut.
“Iya hari ini penyidik pidsus jadwalkan Dirut BCA sebagai saksi,” ujar Amir melalui pesan singkat kepada wartawan, Kamis (31/3).
Namun, Amir mengaku belum mengetahui nama Dirut BCA yang bakal diperiksa itu. Menurutnya, penyidik akan fokus pada jabatannya untuk mengorek informasi lebih jauh mengenai dugaan korupsi tersebut.
“Sampai sekarang belum dapat informasi dari penyidik nama itu,” katanya.
Tak hanya Dirut BCA, penyidik gedung bundar juga menjadwalkan pemeriksan terhadap General Manager (GM) Apartemen Kempinski Residence sebagai saksi. “Itu juga belum dapat laporan (nama) yang bersangkutan,” sambungnya.
Pada perkara ini, jaksa penyidik tengah menelisik lebih jauh dugaan keterlibatan sejumlah pihak dalam penyelewengan perjanjian kerjasama antara PT Hotel Indonesia Natour (BUMN) dengan PT Cipta Karya Bumi Indah (CKBI) anak usaha Djarum Group.
Kejagung telah meningkatkan kasus ini ke penyidikan karena penggunaan Menara BCA dan Apartemen Kempinski di luar kontrak yang diteken antara BUMN PT HIN dan PT CKBI serta PT GI.
Adapun isi kontrak kerja sama yang diteken itu, hanya menyebutkan pembangunan hotel bintang lima, pusat perbelanjaan I dan II, serta fasilitas parkir. Di dalam kontrak tidak menyepakati pembangunan Menara BCA dan Apartemen Kempinski.
Kerja sama tersebut menggunakan sistem Builtd, Operate, and Transfer (BOT) atau membangun, mengelola, dan menyerahkan. Ini merupakan bentuk hubungan kerja sama antara pemerintah dan swasta dalam rangka pembangunan suatu proyek infrastruktur.
Pada tahun 2004, PT Cipta Karya Bumi Indah telah membangun dan mengelola gedung Menara BCA dan Apartemen Kempinski yang tidak ada dalam perjanjian BOT antara kedua belah pihak.
Akibatnya, diduga tidak diterimanya bagi hasil yang seimbang atau tidak diterimanya pendapatan dari operasional pemanfaatan kedua bangunan tersebut, sehingga mengakibatkan kerugian negara sekitar Rp 1.290.000.000.000 (Rp 1,2 trilyun).
Artikel ini ditulis oleh:
Nebby