Jakarta, Aktual.com — Wartawan adalah pengemban profesi mulia, karena mewarisi tugas kenabian. Dasarnya, firman Allah SWT dalam Al Quran, yang artinya “Dan Kami tidak mengutus para rasul, kecuali untuk menyampaikan kabar gembira dan memberi peringatan” (QS 18:56).
Bunyi Surat Al Kahfi itu sesuai dengan fungsi pers yang diakui seluruh dunia, yakni memberi informasi, mendidik, menghibur dan menjadi alat kontrol sosial (masyarakat). Ketiga fungsi pertama sama dengan menyampaikan kabar gembira, sedangkan fungsi ke empat sama dengan memberi peringatan.
Terinspirasi oleh ayat suci itu, setelah lebih 40 tahun berprofesi sebagai wartawan, saya terdorong untuk menulis buku berjudul ‘Jurnalisme Profetik: Mengemban Tugas Kenabian’, yang terbit 2014.
Nabi dalam bahasa Inggris adalah prophet. Dengan alasan itu, ‘genre’ jurnalisme yang saya usung ini saya sebut juga ‘Prophetic Journalism’.
Istilah Nabi dan Rasul dikenal dalam agama Islam dan agama Nasrani. Jesus Kristus dalam Islam dipanggil Nabi Isa Al Masih. Lebih luas dari itu, rujukan jurnalisme profetik juga perilaku dan ucapan orang-orang suci dan para guru kehidupan dari berbagai latar belakang agama dan budaya.
Tentu mengacu kepada Al Quran, Hadits dan empat akhlak mulia Rasulullah Muhammad SAW, yang bisa disingkat STAF, yakni siddiq, tabligh, amanah dan fathonah. Siddiq berarti mengungkapkan sesuatu berdasar kebenaran, tabligh, menyampaikan kepada orang lain dengan cara mendidik, amanah berarti dapat dipercaya atau akuntabel dan fathonah, dengan penuh kearifan/kebijaksanaan.
Misi jurnalisme kenabian adalah mengajak orang berbuat kebaikan dan memerangi kejahatan atau dalam Islam “amar makruf, nahi munkar”. Karena sumber dan acuan utama jurnalisme ini adalah Kitab Suci dan akhlak Rasulullah, dalam praktiknya wartawan profetik melibatkan spiritualitas, di samping akal dan upaya-upaya lahiriah.
Saya mengadopsi pendapat budayawan asal Yogyakarta, almarhum Prof Dr Kuntowijoyo bahwa misi profetik mencakup “humanization” (memanusiakan), “liberation” (pembebasan) dan “transcendence” (spiritualitas).
Memanusiakan dalam bahasa Jawa adalah “nguwongake”. Artinya, menghormati harkat dan martabat seseorang. Ini sama dengan seruan untuk “amar makruf”. Pembebasan sama dengan “nahi munkar”. Semuanya dijalankan sebagai ibadah berdasar ajaran dan keyakinan kepada Allah SWT atau bersifat transendental.
Wartawan menyampaikan kabar gembira dan peringatan melalui media massa. Watawan sulit dipisahkan dengan media massa, tempat ia bekerja dan berkarya. Wartawan profetik perlu media massa profetik pula.
Bersumber kepada perintah Tuhan, mengacu kepada Kode Etik Jurnalistik, bacaan, pengamatan dan pengalaman pribadi, saya merumuskan wartawan dan media massa profetik mengemban misi, yakni 1. Memberi informasi (Informing), 2. Mendidik (Educating), 3. Menghibur (Entertaining), 4. Advokasi (Advocating), memberi pembelaan, 5. Mencerahkan (Enlightening), 6. Menginspirasi (Inspiring) dan 7. Memberdayakan (Empowering) khalayak pembaca, pendengar dan pemerhatinya.
Para nabi dan rasul mengajarkan cinta atau “welas asih” (compassion) kepada sesama makhluk. Karena itu, jurnalisme profetik bisa juga disebut sebagai “jurnalisme cinta”. Walau menyandang kata “cinta”, jurnalisme profetik harus kritis, tegas dan berupaya keras turut memberantas kejahatan, termasuk perilaku atau tindakan korupsi.
Justru, karena menyandang tugas kenabian, wartawan dan media massa profetik harus lebih berani melakukan “investigative reporting” atau laporan investigasi untuk mengungkap kejahatan yang tersembunyi atau sengaja disembunyikan.
Persaingan antarmedia massa (cetak, elektronik dan “online” multimedia) dalam era reformasi ini semakin ketat. Di samping teknologi canggih dan modal besar, untuk “survive” media massa perlu, terutama wartawan, pengelola dan manajemen profetik.
Artikel ini ditulis oleh:
Antara