Jakarta, Aktual.co — Ketika menjelang hari Kebangkitan Nasional 20 Mei lalu terbetik kabar para mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa(BEM) berbagai universitas dan daerah akan lakukan unjuk rasa kepada pemerintahan Jokowi-JK.

Belakangan wacana bakal meledaknya gelombang gerakan mahasiswa untuk menggoyang pemerintahan Jokowi ternyata berakhir anti klimaks, dengan kesediaan beberapa perwakilan mahasiswa untuk menghadiri acara makan bersama dengan Jokowi di istana.  Sehingga stigma baru pun muncul, para aktivis mahasiswa sekarang gampang dibeli. Begitupun, saya jadi tergugah untuk membuka kembali sejarah pergerakan kepemudaan dan kemahasiswaan bumi nusantara masih masih dalam masa penjajahan Belanda.

Pada Penghujung 1925, mungkin bisa kita jadikan titik awal penelusuran jejak-jejak pergerakan kemahasiswaan dan kepemudaan di tanah air, dalam melawan dominasi pemerintahan Belanda di bumi nusantara.

Ketika itu, sekelompok mahasiswa Sekolah Tinggi Hakim Tinggi atau Rechtshoogeschool (RHS) dan mahasiswa Sekolah Tinggi Kedokteran atau School  tot Opleiding van Inlandsch Artsen (STOVIA, Sekolah Dokter Bumiputrra) menggelar semacam diskusi informal. Ikutserta dalam diskusi tersebut adalah Suwiryo, Usman Sastroamijoyo, Muksinun, Abdullah Sigit, Gularso, Darwis, Sujono, Susalit dan Sugondo Joyopuspito.

Hasil diskusi ini mereka merumuskan satu tekad, bahwa sebagai mahasiswa mereka  tidak hanya mencari ijazah, tetapi juga harus ikut memikirkan soal-soal yang menyangkut kehidupan masyarakat. Maka dari tekad tersebut, timbullah gagasan untuk mendirikan Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia. Namun pada tahapan pertemuan ini, masih berupa wacana dan belum resmi dibentuk.

Antara 1920-1927, memang baru ada tiga perguruan tinggi yang didirikan di nusantara yang waktu itu bernama Hindia Belanda. Pada 1920 didirikan Technishce Hoogeschool(THS) di Bandung. Pada 1924, RHS di Jakarta dan STOVIA yang sebagai Sekolah Dokter Jawa sudah berdiri sejak 1851, namun pendidikan tinggi kedokteran baru berdiri pada 1927.
 
Alhasil, dengan didirikannya tiga perguruan tinggi ini, telah memunculkan kelompok baru para mahasiswa Indonesia yang belajar di tanah air sendiri. Selain mereka tumbuh sebagai komunitas mahasiswa yang berbeda dengan siswa sekolah menegah pertama dan menengah atas, pada perkembangannya ini merupakan cikal bakal terbentuknya komunitas mahasiswa dan pemuda yang aktif berkiprah dalam dunia politik.

Sekadar informasi, para mahasiswa yang memasuki perguruan tinggi pada era 1920-an sebagian besar merupakan aktivis-aktivis organisasi pemuda kedaerahan Bung Karno yang kita tahu merupakan mahasiswa sekolah teknik tinggi (THS) Bandung yang mulai masuk pada 1921, tercatat sebagai salah seorang anggota Jong Java cabang Surabaya selain Sugondo Joyopuspito, Usman Sastroamijoyo dan Abdullah Sigit. Sedangkan dari Jong Sumatranen Bond adalah Mohammad Yamin, Aboe Hanifah, dan Amir Syarifuddin.

Menariknya lagi, para mahasiswa ini semakin tergugah untuk terjun ke kancah pergerakan politik karena umumnya menjalin kontak secara intensif dengan para tokoh pergerakan nasional yang jauh lebih senior. Seperti Dr Ciptomangunkusumo dan Bung Karno di Bandung, HOS Cokroaminoto di Surabaya dan Haji Agus Salim di Jakarta (ketika itu dikenal dengan nama Batavia). Para senior pergerakan nasional selain sebagai narasumber juga sebagai mentor politik para mahasiswa tersebut.

Selain itu, para mahasiswa yang khususnya tergabung dalam Jong Java, punya kedekatan khusus dengan Dr Sutomo, salah seorang perintis awal Budi Utomo yang didirikan pada 20 Mei 1908. Sutomo meski termasuk perintis awal Budi Utomo bersama Dr Gunawan Mangunkusumo, Suwarno dan Suraji, namun belakangan mundur teratur dari aktivitas Budi Utomo karena kecewa dengan orientasinya yang semakin konservatif sebatas memperjuangkan hak-hak istimewa kelompok bangsawan dan kaum priyayi pejabat permintahan kolonial Belanda.

Namun sosok Sutomo yang sejatinya merupakan lapisan generasi tua Budi Utomo yang cukup progresif tetap jadi panutan junior-juniornya para mahasiswa STOVIA. Apalagi ketika Sutomo pada 11 Juli 1924, mendirikan Indonesische Studieclub atau Kelompok Studi Indonesia. Karena Sutomo masih dalam kerangka Budi Utomo yang basis dukungannya keanggotaannya adalah Pulau Jawa dan Madura, maka tujuan kolompok studinya ini adalah untuk menyatukan kaum terpelajar Jawa, mengembangkan kesadaran mereka tentang Indonesia sebagai bangsa dan memberikan pimpinan kepada gerakan kebangsaan.

PPPI, Indonesia Muda dan umpah Pemuda

Kembali ke kesepakatan diskusi informal pada 1925 yang akhirnya bersepakat membentuk Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI), pada 25-27 Desember 1925 digelarlah sebuah kongres yang diselenggarakan oleh Jong Islamieten Bond (JIB) di Yogyakarta yang dihadiri oleh 47 macan organisasi pergerakan di Indonesia. Di sinilah gagasan-gagasan PPPI mulai disosialisasikan kepada masyarakat luas. Apalagi kongres JIB di Yogyakarta ini juga dihadiri beberapa pemuka Budi Utomo dan Sarikat Islam seperti Dwijosewoyo, Haji Fachrudin, Ki Hajar Dewantara, Dr Satiman Wiriosanjoyo, Gondoatmojo, Suryopranoto dan tentu saja, tokoh sentral Sarikat Islam HOS Cokroaminoto.

Setelah kongres yang cukup berhasil membangun kesadaran  nasional tersebut, pada 28 Desember 1925 -2 Januari 1926, para mahasiswa bersepakat bertemu kembali di Bandung yang kali ini dengan memanfaatkan momentum Kongres Jong Java kedelapan. Dalam pertemuan kali ini, bahkan hasil keputusan kongres jauh lebih strategis karena membahas berbagai isu-isu politik yang berkembang di era kolonialisme Belanda kala itu.

Para mahasiswa yang hadir dalam Kongres Jong Java tesebut, tampaknya terpengaruh dan terkesima oleh pandangan dari Mohammad Tabrani, salah seorang jurnalis surat kabar Hindia Baroe, yang kebetulan sejak 1916 juga aktif di Jong Java. Ia mengemukakan perlunya persatuan bagi segenap rakyat yang ada di Hindia Belanda (artinya, yang mencakup seluruh wilayah nusantara yang berada dalam jajahan Belanda, baik di Jawa maupun luar Jawa).

Berkata Tabrani: “Rakyat Hindia Belanda merasa bahwa bangsa Jawa, Sumatera, Ambon, Manado, Sunda, dan sebagainya sebetulnya terperintah oleh pemerintahan yang satu, yang kelak oleh kita sendiri akan digantikannya. Pemimpin di Jawa diwajibkan memperbaiki keadaan di Jawa, pemimpin Sumatera diwajibkan meningkatkan derajat anah Sumatera, begitu juga pemimpin-pemimpin lainnya harus senantiasa cara akal supaya familinya, kampungnya, dan pulaunya masing-masing harus dijaga jangan sampai menimbulkan perselisihan di antara anak-anak Hindia yang ada dan kebencian yang terkandung di dalam penghidupan sehari-hari tidak boleh sama sekali dibawa ke medan pergerakan.”

Gagasan Tabrani yang inspiratif inilah lalu ditindaklanjuti untuk membentuk PPPI yang akhirnya secara resmi didirikan pada September 1926. Abdullah Sigit, seorang mahasiswa hukum RHS, terpilih sebagai ketua. Kala itu, usulan dari Muhammad Yamin untuk menggunakan istilah mahasiswa belum bisa diterima karena dianggap sesuatu yang terlalu tinggi.

Namun yang berkiprah di PPPI hakekatnya adalah para mahasiswa baik dari hukum (RHS), Teknik (THS), dan kedokteran (STOVIA). Cabang-cabang yang didirikanpun di kota-kota yanbg punya perguruan tinggi yaitu Batavia, Bandung, dan Surabaya. Maka pada sekolah-sekolah tinggi tersebut didirikan cabang PPPI. Dengan demikian, keanggotaan PPPI praktis berskala kecil hanya sekitar 30 orang.

Di sinilah para mahasiswa lintas suku kedaerahan berkumpul dan bersenyawa satu sama lain seperti Abdullah Sigit, Gularso dan Kuncoro Purbopranoto dari Jong Java. Abu Hanifah dan Mohammad Yamin dari Jong Sumatranen Bond, dan Amir Syarifuddin dari Jong Bataks Bond.

Mulanya ruang lingkup kegiatannya hanya sebatas pada pendidikan, kepanduan, kebudayaan dan olah raga. Namun dengan meningkatnya kesadaran nasional dan semakin luasnya wawasan politik para mahasiswa, muncul desakan agar para pemuda dan mahasiswa bisa memberikan sesuatu yang lebih bermakna bagi pergerakan. Maka, digagaslah sebuah pertemuan berskala nasional dengan menggelar Kongres Pemuda Pertama.

Kongres PPPI pertama diselenggarakan pada 30 April-2 Mei 1926. Hadir dalam kongres tersebut berbagai organisasi pemuda, wakil partai politik, dan wakil Pemerintahan kolonial Belanda.  Mohammad Tabrani terpilih sebagai ketua kongres.

Melalui kongres inilah, benih-benih kebangkitan nasional semakin mengkristal. Sumarto, wakil ketua kongres yang diminta sebagai salah satu narasumber, menyampaikan gagasan dengan judul Gagasan Persatuan Indonesia. Dengan mengutip RM Notosuroto dalam majalah Oedaja, mengatakan bahwa pembentukan kesatuan Indonesia sangat mungkin karena:
1.    Bangsa Indonesia sama-sama dijajah Belanda
2.    Indonesia merupakan satu kesatuan budaya
3.    Dilihat dari sudut bahasa, Indonesia adalah suatu kesatuan.

Adapun mengenai organisasi pemuda, Sumarto mengusulkan agar dibentuk sebuah perkumpulan yang dapat menampung seluruh elemen pergerakan epmuda yang ada. 

Mohammad Yamin, juga menyampaikan gagasan yang tak kalah menarik. Melalui kertas kerjanya yang berjudul “Kemungkinan Perkembangan Bahasa-bahasa dan Kesusasteraan Indonesia di Masa Mendatang”, Yamin menggagas tentang kemungkinan masa depan bahasa Indonesia dan kesusasteraannya. Tanpa mengurangi penghargaan terhadap bahasa-bahasa daerah lain seperti Sunda, Aceh, Bugis, Minangkabau, Madura, dan lain-lain, Yamin berpendapat bahwa hanya ada dua yang punya peluang untuk dijadikan bahasa persatuan, yaitu Jawa dan Melayu.

Bahasa Jawa punya peluang menjadi bahasa persatuan karena jumlah penutur terbanyak. Bahasa Melayu punya peluang karena saat itu bahasa Melayu sudah menjadi bahasa pergaulan (lingua franca). Namun Yamin berkesimpulan bahwa peluang bahasa Melayu untuk jadi bahasa persatuan lebih besar daripada bahasa Jawa.

Pada saat kongres Pemuda pertama inji digelar PPPI belum secara resmi terbentuk karena baru terbentuk pada September 1926, namun gagasan tentang persatuan di kalangan pemuda pergerakan sudah menggema dalam kongres tersebut.. Sayangnya, seperti terdokumentasi melalui berbagai sumber-sumber kepustakaan terkait PPPI maupun Sumpah Pemuda, kongres pemuda pertama belum berhasil menyatukan pergerakan pemuda dari aneka ragam organisasi-organisasi berbasis kedaerahan dan kesukuan.

Akhirnya setelah PPPI secara resmi terbentuk, maka PPPI lah yang menjadi motor penggerak  untuk mempersatukan seluruh perhimpunan pemuda yang ada. Dengan mengefektifkan para anggota PPPI yang merangkap jadi anggota pengurus perhimpunan pemuda kedaerahan, mereka membawa ide-ide persatuan ke dalam organisasi pemuda tersebut, sehingga dalam kongres pemuda kedua gagasan persatuan pemuda sudah semakin matang.

Rupanya lobi-lobi yang dilakukan para tokoh sentral PPPI berhasil juga. PPPI yang mengggagas fusi mengundang berbagai organisasi kepemudaan pada 3 Mei 1928 untuk mengadakan pertemuan di Indonesische Clubgebouw. Dalam pertemuan itu dibahas tentang penyelenggaraan Kerapatan Besar Pemuda Indonesia. Dalam pertemuan tersebut disepakati panitia pelaksana Kerapantan Besar.

Dalam pertemuan pada Minggu 12 Agustus 1928 di gedunbg Kramat No 106 Jakarta, hadir beberapa organisasi dari Jong Java, Jong Sumatranen Bong, Jong Celebes, Jong Ambon, Jong Bataks Bond, dan Pemuda Kaum Betawai. Bertindak selaku tuan rumah adalah Sugondo Joyopuspito, mahasiswa hukum (RHS) Jakarta. Akhirnya dalam pertemuan ini disepakati bahwa Kongres Pemuda Kedua  akan dilaksanakan selama dua hari pada Oktober 1928.

Maka disusunlah panitia pelaksana kongres yang diketuai oleh Sugondo Joyopuspito, Ketua PPPI. Mohammad Yamin, yang menjabat ketua Jong Sumatranen Bind terpilih sebagai sekretaris kongres. Mereka dibantu oleh RM Joko Marsaid (wakil ketua Jong Java), Amir Syarifuddin (wakil dari Jong Bataks Bond), Johan Mohammad Tjai (wakil dari Jong Islamiten Bond), R Katjasungkana (wakil dari pemuda Indonesia), RCL Senduk (wakil dari Jong Celebes), Johannes Leimena (wakil dari Jong Ambon), dan Mohammad Rochyani So;oed (wakil ketua dari Pemuda Kaum Betawi).

Maka tokoh-tokoh sentral PPPI inilah yang menjadi tenaga penggerak yang ada di belakang Kongres Pemuda Kedua 27-28 Oktober 1928. Terutama Sugondo, Yamin dan Syarifuddin.

Tema sentral Kongres Pemuda Kedua ini tentu saja adalah soal Fusi atau persatuan pemuda dan kemungkinan dileburnay perkumpulan-perkumpulan pemuda-pelajar yang berasal dari daerah-daerah.

Akhirnya dua putusan penting berhasil dicapai. Gagasan fusi pemuda berhasil jadi kenyataan, yang kemudian jadi dasar kesepakatan untuk menyelenggarakan Pertama Indonesia Muda pada 28 Desember 1930- 2 Januari 1931.

Kedua, juga dicapai kesepakatan untuk pengakuan yang bulat bahwa semua golongan yang turut serta akan bersatu dalam satu perkumpulan Pemuda baru, yang merupakan fusi dari segala perkumpulan pelajar daerah.  Maka lahirlah satu Sumpah Pemuda, yang menyatakan bahwa Pemuda Indonesia:
1. Mempunyai satu tanah air , Indonesia
2. Satu Bangsa, Bangsa Indonesia
3. Satu Bahasa, Bahasa Indonesia

 Tak pelak lagi, melalui Sumpah Pemuda dan Fusi Perkumpulan-Perkumpulan Pemuda, merupakan keputusan jenius para aktivis pergerakan pemuda dan mahasiswa era 1920-an dalam menyusun kontra skema menghadapi kolonialisme Belanda di bumi nusantara.

Sebagaimana dinyatakan dalam pernyataan PPPI pada 1926: “Bangsa Indonesia tidak mau dibagi-bagi lagi dan menyerukan untuk menguburkan dengan secepat-cepatnya perasaan Propinsialismee dan mengusahakan dengan sekuat-kuatnya persatuan bangsa.”

Para Pimpinan Pergerakan Mahasiswa Saatnya Napak Tilas Sejarah Pergerakan Mahasiswa era 1920-an

Para pimpinan BEM mestinya baca buku pergerakan mahasiswa kita di zaman penjajahan dulu yang dimotori oleh Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia periode 1926-28 dahulu. Contohlah keteladanan Sugondo Jojoyopuspito, Usman Sastroamijoyo, Mohammad Yamin, Abu Hanifah, Mohammad Tabrani, Abdullah Sigit, Gularso, Darwis, Soewirjo, Kuncoro dan Amir Sjarifuddinyang dalam usia muda sekitar 22-23 tahun, sudah memikirkan masa depan bangsanya. Bukan memikirkan ambisi pribadinya saja. Bahkan mentor mereka yang muda-muda ini aja, seperti Bung Karno, masih sekitaran 25 atau 26 tahun.

Para pimpinan gerakan mahasiswa saat ini, harus banyak baca sejarah. Dan berendah hati untuk menyerap ilmu dari para senior-senior yang idealis dan visioner supaya dalam menyusun gerakan lebih inspiratif. Jangan cuma mikir fulus, fulus dan fulus.

Oleh: Hendrajit, Redaktur Senior Aktual