Yogyakarta, Aktual.com – Kebijakan nasional melalui BKPM yang membuka keran investasi asing sederas-derasnya hingga 100 persen penguasaan saham untuk sektor industri pariwisata, memantik kekhawatiran akan dominasi asing atas industri penggerak ini di kota Yogyakarta.

Walau konsentrasi investasi DIY kini lebih diarahkan ke sektor industri padat karya dan industri kreatif, pariwisata masih menjadi stimulan paling signifikan di banyak bidang diantaranya perdagangan, perhotelan (infrastruktur), kuliner (restoran, cafe, bar, dll), industri olahan serta tekstil (batik).

“Kota Yogya tidak memiliki barang jualan yang lebih baik ketimbang wisata. Kita tidak ingin orang-orang kita ada dibumi sendiri tapi tereksploitasi oleh orang-orang luar, itu patut dikhawatirkan. Deal with local people jauh lebih membuat kita memiliki pemasukan yang substain,” terang Emmy Yuniarti Rusadi, Peneliti PBB bidang Pembangunan Berkelanjutan kepada Aktual.com di Yogyakarta, Senin (4/4).

Pemerintah diharap lebih bijak dalam memenej industri pariwisata dengan kembali pada prinsip pembangunan berkelanjutan, tidak hanya dimaknai sebagai pertumbuhan Produk Nasional Bruto yang dihasilkan dalam satu periode tertentu, tapi bagaimana cara membangun dan mengembangkan industri pariwisata secara berkelanjutan.

“Oke kita mengikuti rule itu, tapi kok saya lebih cenderung untuk tidak benar-benar 100 persen, karena masalah investasi tidak hanya masalah jual beli, ‘how to own land’ itu juga masuk investasi, bagaimana kepemilikan lahan, lama-lama industri wisata ini terjual, kota Yogya terjual,” keluh Emmy.

Seperti diketahui, pariwisata mampu menyumbang hingga 34 persen nilai Produk Domestik Regional Bruto DIY di 2015, persentase yang tidak bisa disumbang dari produk komoditas seperti emas, batubara, minyak bumi ataupun gas alam, sesuatu yang tidak dimiliki Yogyakarta.

Artikel ini ditulis oleh:

Nelson Nafis