Hingga tahun 2030 mendatang Pemprov DKI Jakarta akan membangun 17 pulau reklamasi di pesisir utara Jakarta. Demi mewujudkan rencana tersebut Pemprov DKI Jakarta siap menggandeng pihak swasta.

Jakarta, Aktual.com — Ketua Komisi Informasi Pusat (KIP) Abdulhamid Dipopramono mengatakan kebijakan reklamasi di Teluk Jakarta merupakan bukti diabaikannya keterbukaan informasi publik oleh para elit pengambil keputusan yang masih menggunakan paradigma Orde Baru.

“Tertangkapnya Ketua Komisi D DPRD DKI M Sanusi dan pimpinan developer ternama oleh KPK yang kemudian menyeret pimpinan developer lain dan anggota DPRD lain dalam reklamasi di Teluk Jakarta tersebut, menunjukkan bahwa pengambilan kebijakan publik sama sekali tidak melibatkan masyarakat,” kata Abdulhamid, Selasa (5/4).

“Tapi diselesaikan secara kongkalingkong oleh beberapa elite dengan mekanisme suap-menyuap, dan itu berlangsung sejak zaman Orde Baru hingga saat ini, nyaris tanpa perubahan gaya pengambilan kebijakan publik,” tambah dia.

Ia mengatakan, penangkapan tersebut juga membuka mata publik bahwa pengambilan kebijakan publik di DKI hanya dilakukan oleh segelintir elite eksekutif, legislatif, dan pengusaha secara diam-diam.

“Ukuran pembangunan untuk kepentingan rakyat pun menjadi bias tak jelas,” ujar dia.

Hal ini, menurutnya, bertentangan dengan asas keterbukaan informasi seperti diamanatkan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), pasal 3, yang menyebutkan keterbukaan informasi publik adalah untuk menjamin hak warga negara mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan kebijakan publik beserta alasannya.

Juga untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik, meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik, mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, akuntabel, dan dapat dipertanggungjawabkan, serta untuk mengetahui alasan kebijakan publik yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak.

Kebijakan reklamasi diawali dengan dikeluarkannya Keppres Nomor 5/1995 tentang Reklamasi Pantura Jakarta diikuti dengan Perda Nomor 8/1995 yang menabrak RUTR 1985-2005.

Kemudian Perda Nomor 1/2012 tentang RTRW 2030 yang mengubah Perda Nomor 8/1995, izin prinsip Gubernur Nomor 1290 sampai 1295 tahun 2012, SK Gubernur DKI Nomor 2238/2014 yang berisi izin pelaksanaan reklamasi, dan peraturan terkait lainnya.

Bahkan, telah dilanjutkan tahap konstruksi saat ini padahal tidak melewati konsultasi publik.

“Jangankan terbuka kepada publik, bahkan koordinasi antarkementerian dan antarpemerintah pusat dan daerah pun tidak dilakukan,” jelas dia.

Hal ini terbukti dari tidak sepakatnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta pemerintah pusat yang diwakili Seskab tentang pelaksanaan reklamasi pantura Jakarta. Belum lagi kalangan LSM bidang lingkungan, nelayan serta ahli tataruang dan masyarakat setempat yang mempersoalkannya, katanya.

“Ini membuktikan bahwa mekanisme yang ditetapkan oleh UU KIP memang benar, bahwa penyusunan dan pengambilan kebijakan publik itu seharusnya melibatkan publik dan terbuka ke publik.”

Artikel ini ditulis oleh:

Antara