Jakarta, Aktual.com – Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) dan Revisi Perda No. 8/1995 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta, akhirnya memakan “korban”.
Hal tersebut terjadi, menyusul terungkapnya praktik kasus dugaan suap pengesahan dua raperda inisiasi Pemprov DKI yang melibatkan Ketua Komisi D DPRD Mohamad Sanusi dan Presdir PT Agung Podomoro Land (APL), Ariesman Widjaja, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui operasi tangkap tangan, Kamis (31/3) malam.
Berdasarkan penelusuran Aktual.com, pro kontra urgensi reklamasi di internal DPRD telah mencuat sedari awal, sebelum pembahasan, baik di tingkat komisi terkait maupun Badan Legislasi Daerah (Balegda) DPRD, setelah naskah akademis dan Raperda RZWP3K diserahkan ke Kebon Sirih.
Untuk diketahui, 2 Maret 2015, Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), mengirimkan surat No. 209/-075.61 ke DPRD tentang Usul Pembahasan Raperda RZWP3K. Legislatif merespon dengan mengadakan paripurna 23 April, dimana Ahok membacakan pidato pengantar.
DPRD pertama kali baru membahas raperda pada Juni. Belum lama digelar, polemik mencuat, sehingga kembali dihentikan. Dalil penolakan, izin telah dikeluarkan gubernur, sedangkan dasar hukumnya di tingkat daerah (perda), belum ada.
Akibatnya, bila dilanjutkan, maka perda yang disahkan hasil pembahasan antara DPRD bersama Pemprov DKI, menjadi legitimasi atas izin tersebut.
Lalu, dibentuk Panitia Khusus (Pansus) RZWP3K yang dikomandoi Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Selamat Nurdin. Tinjau lokasi serta rapat bersama pakar, eksekutif, dan pengembang, merupakan metodologi yang digunakan.
Beberapa bulan ‘bekerja’, pansus lantas menyampaikan rekomendasinya. Tapi, tidak melalui forum tertinggi dewan atau paripurna. Bunyinya, menolak reklamasi.
Namun, DPRD justru merespon paripurna 23 April dengan kembali mengadakan paripurna pada 30 November tentang pandangan umum fraksi-fraksi atas Raperda RZWP3K.
Beberapa hari kemudian, 4 Desember 2015, kembali digelar paripurna dengan agenda penyampaian jawaban gubernur atas pandangan umum fraksi-fraksi. Tiga hari berselang, Balegda bersama eksekutif menggelar rapat melanjutkan respon gubernur.
Pada 8 Desember 2015, lantas diadakan rapat dengar pendapat umum (RDPU) antara Balegda dengan pakar dan masyarakat. Kegiatan senada dilakukan pada dua hari kemudian.
Namun, kegiatan tersebut menuai kontroversi. Sebab, DPW Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) DKI menganggap, perwakilan yang diundang juga ada ‘titipan’ pengembang.
Tapi, DPRD melanjutkan pembahasan Raperda RZWP3K sejak 16-18 Desember 2015. Pada 28 Januari 2016, dilanjutkan dengan penelitian akhir.
Dilanjutkan dengan rapat gabungan pimpinan DPRD bersama eksekutif tentang kesepakatan pengesahan raperda tertanggal 19 Februari. Diputuskan, paripurna digelar setelah membahas Raperda RTR Kawasan Strategis Pantura.
Akhirnya disepakati, paripurna pengesahan Raperda RZWP3K pada 22 Februari 2016. Hingga dua jam lamanya dari waktu yang ditentukan, pukul 14.00, paripurna ditunda, lantaran tidak memenuhi kuorum atau dihadiri 2/3 anggota dewan.
Direncanakan ulang pada 24 Februari 2016. Hingga waktu yang ditentukan, ternyata agenda batal kembali dan tidak ada roman-roman akan digelar.
Tak lama berselang, diputuskan kembali pada 1 Maret 2016. Sayangnya, urung digelar dan dijadwalkan ulang pada 17 Maret.
Pada kesempatan tersebut, anggota dewan yang hadir juga tidak mencapai kuorum. Bahkan, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Demokrat-PAN juga bersepakat menolak dengan tidak hadir.
Sedangkan, sejumlah anggota dewan dari beberapa fraksi, beberapa diantaranya memilih ‘bolos’ dengan harapan batal disahkan.
Karenanya, DPRD menggelar Bamus pada 29 Maret lalu. Salah satu kesimpulannya, menggelar paripurna pengesahan raperda pada 6 Juli. Faktanya, paripurna kembali batal.
Artikel ini ditulis oleh: