Jakarta, Aktual.com — PT Pertamina (Persero) memastikan bahwa saat ini lapangan Banyu Urip Blok Cepu menjadi andalan pemerintah dalam mencapai target lifting nasional.

Menurut pihak pertamina, Blok Cepu berkomitmen untuk memproduksi Lapangan Banyu Urip sebesar 165.000 BOPD dalam upaya membantu pemenuhan target Lifting minyak Nasional sebesar 830.000 BOPD dalam APBN Tahun 2016

“Sebagai harapan baru demi terjaganya ketahanan energi Nasional, Lapangan Banyu Urip diproyeksikan akan memproduksi minyak sampai dengan 165.000 BOPD atau berkontribusi sekitar 20 % dari total keseluruhan produksi minyak dalam negeri,” kata Vice President Corporate Communication PT Pertamina
Wianda Pusponegoro saat konferensi pers di Gedung Pertamina Jl Medan Merdeka Jakarta Pusat, Jum’at (8/4).

Terkait hal ini, sebagaimana yang pernah diberitakan Aktual.com, bahwa Wapres JK pernah memberikan arahan kepada Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) agar memaksimalkan lifting cadangan Banyu Urip melalui perpanjangan kontrak fasilitator produksi (early production facility/EPF) dan pengembangan (early oil expansion/EOE).

Arahan tersebut ditindak lanjuti dengan keluarnya surat Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Nomor 19/13/DME/2016 tertanggal 5 Januari 2016 ditujukan kepada Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas)

Namun arahan tersebut sempat mendapat penolakan dari SKK Migas karena dianggap tidak sesuai perhitungan SKK Migas dan akan berimbas keruhian bagi negara

Kepala Bagian Humas SKK Migas Elan Biantoro menegaskan bahwa tim SKK Migas telah memperhitungkan, perpanjangan kontrak tersebut berpotensi akan merugikan negara.

“Maunya pak Kepala dan Tim di SKK tidak diperpanjang kontrak kedua fasilitator produksi itu, sementara permintaan pak JK dan Kementerian ESDM minta diperpanjang seperti itu, Cuma kendalanya banya,” ungkap Elan saat dihubungi Aktual.com, Selasa (2/2).

Elan memaparkan, langkah optimalisasi dapat merugikan negara ditengah harga minyak yang turun, jika produksinya digenjot hingga melebihi 200 ribu barel per hari maka cadangan tersedia tidak akan bertahan dalam jangka waktu yang panjang dan merugikan bagi negara.

“Kalau genjot di depan, nanti kempesnya di belakang. Saya dulu membahas POD nya, mau digenjot 200 ribu barer per hari, seharusnya 100 ribu aja supaya bisa bertahan 7 hingga 10 tahun, manfaat lebih lama. Karena ada kekurangan produksi, maka kita dipaksa pake EPF dan EOE,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta
Eka