Jakarta, Aktual.com — Presiden Joko Widodo (Jokowi) dianggap tidak akan berani membuka nama-nama dalam Panama Papers (dokumen Panama) yang terindikasi melakukan pengemplangan pajak dan pencucian uang.
Pasalnya, disinyalir daftar nama-nama tersebut memuat banyak pejabat teras pemerintah saat ini, salah satunya Menteri BUMN Rini Soemarno.
“Sebetulnya, munculnya dokumen daftar pengemplang pajak itu bukan baru saat ini (dengan adanya Panama Papers), tapi pemerintah belum pernah serius untuk membukanya ke publik,” sebut peneliti dari Center for Regulation, Policy and Governance (CRPG), Mohamad Mova Al Afghani, saat diskusi di Gado-Gado Boplo, Jakarta, Sabtu (9/4).
Menurut Mova, sebelum dokumen ini muncul, juga sempat mecuat juga daftar perusahaan yang ada dalam offshore company list, yang dianggap juga melakukan praktik-praktik yang melanggar hukum.
Bahkan belum lama ini, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro juga pernah bilang ada ribuan perusahaan modal asing (PMA) yang selama 10 tahun tidak bayar pajak. Namun, tetap saja datanya tidak dibuka ke publik.
“Yang jelas pemerintah selalu tidak berani membuka dokumen pengemplang pajak ke publik. Bahkan Panama Papers yang kata Jokowi mau dibuka ke publik Mei nanti, saya ragu Jokowi berani,” papar Mova.
Ia menduga, bisa jadi ada orang kuat di dokumen itu, sehingga Jokowi tidak berani membukanya ke publik. Jokowi malah mengklaim punya data pengemplang pajak, sebelum Panama Papers ini mencuat ke publik.
Memang disebut-sebut, tak hanya pengusaha hitam yang ada di daftar nama Panama Papers itu, tapi juga banyak politisi dan pejabat yang tercatat di sana. Salah satunya, Menteri BUMN, Rini Soemarno.
Untuk itu, kata Mova, semua kepentingan di belakang itu harus diungkap oleh Jokowi, apalagi pejabat. Jadi tidak cukup hanya dengan menyampaikan Laporan Harta dan Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN).
“Tak cukup hanya melaporkan LHKPN saja, berupa mobil, tanah, aset saham, dan lainnya. Tapi juga kontrak bisnis pun harus diungkap ke publik,” pinta dia.
Kontrak bisnis yang dia maksud adalah, kontrak-kontrak yang bernilai besar, meski bukan pemegang saham, tapi pendapatan dari kontrak bisnis itu bisa nilainya sebesar pemegang saham. Termasuk juga jelaskan ke publik siapa saja keluarga pejabat yang berbisnis di sektor tertentu.
“Ini saya sebut pengungkapan kepentingan. Karena misalkan dia sebagai pejabat di sektor pertambangan, dan ada saudaranya yang berbisnis di sektor itu, maka akan ada kepentingan yang disitu,” terang Mova.
Keterbukaan terhadap publik itu, tidak hanya bagi pejabat tapi juga direktur BUMN pun harus membukanya ke publik.
“Tidak hanya soal kekayaan saja, tapi juga soal keterkaitan kepentingan dia ketika menduduki posisi tersebut,” ujarnya.
Termasuk juga di tingkat kementerian yang mengantongi badan hukum di sektor bisnis perlu juga mengungkap daftar perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia. “Sehingga ketika terjadi hal seperti ini (Panama Papers) akan mudah diketahui, perusahaan ini terkait dengan negara-negara tax havens atau tidak?” pungkasnya.
Artikel ini ditulis oleh: