Anggota Komisi V DPR RI Damayanti Wisnu Putranti memberikan keterangan kepada wartawan seusai menjalani pemeriksaan perdana sebagai tersangka di KPK, Jakarta, Senin (18/1). Damayanti diperiksa KPK terkait kasus suap proyek di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat bersama dua tersangka lainnya Dessy A Edwin dan Julia Prasetyarini. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa/pras/16.

Jakarta, Aktual.com — Anggota Komisi V dari fraksi PDI-Perjuangan Damayanti Wisnu Putranti menyebut, jatah komisi untuk anggota DPR dari dana aspirasi seperti ban berjalan sehingga semua anggota DPR mendapatkannya.

“Dana aspirasi yang diplot nominalnya oleh pimpinan fraksi, kemudian kapoksi (ketua kelompok fraksi) dan anggota, untuk apanya sudah bagian jatah seperti ban berjalan siapapun anggota DPR pasti dapat,” kata Damayanti saat menjadi saksi di pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat, Senin (11/4).

Damayanti yang menjadi saksi untuk terdakwa Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama Abdul Khoir menyebutkan, pemberian uang ditujukan agar Abdul Khoir mendapatkan program dari dana aspirasi di Maluku dan Maluku Utara.

“Sesuai sistem yang sudah ada di Komisi V. Mengalir saja.”

Menurut dia, Amran selaku Kepala BPJN IX Maluku dan Maluku Utara sudah membawa data dana asprirasi itu dipergunakan untuk proyek mana, dan berapa yang didapatkan oleh anggota Komisi V.

“Pada Oktober 2015 saat pertemuan di Hotel Ambhara, Pak Amran bawa data lebih komplit, ada judul, nama jalan, nominal dan kodenya. Saya kodenya 1e. PDIP itu 1, e-nya saya tidak tahu. Itu berdasar jumlah kepemilikan kursi di DPR, PDIP nomor 1, Golkar nomor 2 dan seterusnya.”

Dia juga mengaku membaca daftar berisi nama-nama pimpinan dan anggota Komisi V terkait jatah proyek. “Di situ ada Fahri Prancis (Ketua Komisi V), Michael Wattimena (Wakil Ketua Komisi V), pimpinan yang saya lihat empat, yang saya baca empat. Anggota yang saya lihat ada Pak Bakri (HM Bakri), Musa (Musa Zainuddin), saya, Budi (Budi Supriyanto), Yoseph Umar Hadi, Sukur Nababan.”

Damayanti mengungkapkan dalam pertemuan ketiga itu ada proses penjatahan kepada masing-masing nama tersebut. “Untuk nilai merupakan hasil nego antara pimpinan Komisi V dan Kementerian PUPR sehingga masing-masing anggota mendapat jatah maksimal Rp50 miliar, kapoksi maksimal Rp100 miliar, untuk pimpinan saya kurang tahu. Kami diberikan dari kapoksi, kapoksi dari pimpiann. Saya nilaninya Rp41 miliar.”

“Pak Amran menyampaikan ke kami bahwa akan ada ‘fee’ 6 persen dari nilai masing-masing yang sudah diplotkan oleh pimpiann masing-masing, itu dari rekanan. Saya dapat 245.700 dolar Singapura yang sudah diserahkan ke KPK, itu besarnya enam persen dari Rp41 miliar.”

Dalam dakwaan Abdul Khoir, Damayanti disebut menerima fee dari proyek program aspirasi pelebaran jalan Tehoru-Laimu senilai Rp41 miliar. Namun, Damayanti menerima 328 ribu dolar Singapura (sekitar Rp3,28 miliar) dan 72.727 dolar AS (sekitar Rp1 miliar) namun membagi-bagikan uang tersebut ke beberapa pihak.

Atas perbuatan tersebut, Abdul Khoir didakwa berdasarkan pasal 5 ayat (1) huruf a atau pasal 13 UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat (1) KUHP.

Artikel ini ditulis oleh:

Wisnu