Jakarta, Aktual.co — Mantan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas (RTKM) Faisal Basri menuding mantan menteri perekonomian, Hatta Rajasa sebagai biang keladi kekacauan industri bauksit nasional.

“Hatta Rajasa biang keladinya. Ini tunjuk nama saja deh biar semua jelas,” ujar Faisal Basri di Jakarta, Senin (25/5).

Menurutnya, kekacauan tersebut bermula pada masa pencalonan Hatta Rajasa menjadi calon wakil presiden 2014 lalu. Hatta melarang ekspor mineral mentah (raw material) termasuk bauksit. Pelarangan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2014 terbit pada tanggal 12 Januari 2014. Faisal basri menuding, pelarangan tersebut terkait permintaan perusahaan alumunium terbesar di Rusia, UC Rusal. Perusahaan tersebut ingin membangun pabrik di Kalimantan, namun mereka ingin mengurangi jumlah bauksit yang beredar di dunia hingga 40 juta ton. Dampaknya harga alumina Rusal melonjak.

“Sudah nampak nyata, Rusal yang paling diuntungkan. Ini mau pemilu, pilpres, dan Hatta Rajasa menjadi calon wakil presiden,” ucap dia.

Namun, apabila melihat peraturan menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2014 berkaitan dengan pembangunan smelter untuk peningkatan nilai tambah mineral dalam negeri. Dalam Bab III, pasal 5 disebutkan bahwa pemegang IUP Operasi produksi mineral logam dan IUPK operasi produksi mineral logam wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri seusai dengan batasan minimun pengolahan dan pemurnian mineral logam tertentu.

Permasalahan pewajiban pembangunan smelter ini tentu mengingatkan aturan yang ditabrak menteri ESDM, Sudirman Said yang memperbolehkan Newmont dan Freeport melakukan ekspor konsentrat tanpa melalui pengolahan terlebih dahulu.

Sebelumnya, Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kembali memberikan kelonggaran pembangunan pabrik pemurnian dan pengolahan mineral (smelter) milik PT Freeport Indonesia yang akan dibangun di Papua. Pasalnya, pembangunan smelter Freeport di Papua yang rencananya akan dikerjakan oleh BUMD dan investor China tersebut membutuhkan waktu hingga lima tahun.

“Jadi artinya, bisa saja perencanaan (pembangunan smelter) berubah,” kata Direktur Jenderal (Dirjen) Minerba Kementerian ESDM R Sukhyar di kantornya, Jakarta.

Ia juga mengatakan, molornya waktu pembangunan smelter tersebut menyebabkan Pemerintah harus merevisi Permen ESDM Nomor 1 tahun 2014 tersebut. Pasalnya, di peraturan tersebut smelter diharuskan rampung pada 2017 mendatang.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka