Jakarta, Aktual.com — Globalisasi menjadi sebuah keniscayaan dalam tata pergaulan bangsa-bangsa dunia, yang hari ini tiada satu bangsa pun dapat menghindar.

Bagi sebuah bangsa, globalisasi membawa ke dua sisi jalan yang berbeda. Jalan pertama adalah jalan menuju adanya kemajuan dan kesejahteraan. Jalan kedua, adalah jalan kesengsaraan dan nestapa.

Semua bangsa berpeluang berada di salah satu jalan itu. Mengingkarinya berarti melawan kehendak lajunya sejarah dan jelas akan binasa. Sedangkan menerimanya tanpa reserve juga tidak akan membuat sebuah bangsa menuju kepada jalan kemakmuran dan kemajuan.

Menurut Bung Karno, internasionalisme yang sejati semestinya didasarkan atas kenyataan persamaan nasional dan persamaan kehormatan.

Dalam pidatonya di sidang umum PBB dengan judul Membangun Dunia Kembali (To Build The World a New), Bung Karno mengingatkan agar semua bangsa tetap berpegang pada nasionalisme.

Menurutnya, nasionalisme adalah mesin besar yang menggerakkan dan mengawasi semua kegiatan internasional kita. Nasionalisme adalah sumber besar dan inspirasi agung dari kemerdekaan.

Dua bulan sebelum proklamasi kemerdekaan dibacakan, Bung Karno sudah memaparkan bentuk nasionalisme kita dalam pidatonya pada 1 Juni 1945;

“Saudara-saudara,” kata Bung Karno, “..prinsip kebangsaan ini ada bahayanya! Bahayanya ialah mungkin orang-orang meruncingkan nasionalisme menjadi chauvinisme,”

“Kita bukan saja harus mendirikan negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa,”

Bung Karno menyadari betul bahwa cita-cita menuju dunia yang adil dan makmur itu, tanpa penjajahan—seperti termanifestasi dalam pembukaan Undang Undang Dasar 1945—dihadapkan pada tantangan yang teramat berat.

Dunia sudah terlanjur terbelah menjadi dua sejak lama: Oldefos (Old Esrablishment Forces) dan Nefos (New Establishment Forsces). Negara penjajah dan negara jajahan.

“Soal jajahan adalah soal rugi atau untung; soal ini bukanlah soal kesopanan atau soal kewajiban; soal ini ialah soal mencari hidup, soal business,” kata Bung Karno.

Jika mencermati pemikiran Bung Karno sejak muda, maka kita akan menemukan benang merahnya secara jelas. Seluruh perhatiannya sebenarnya tertuju pada soal imperialisme dan kapitalisme.

Dan kini, kedua sistem itu telah mencengkeram ke bagian dunia terpencil sekalipun, termasuk Indonesia di dalamnya. Imperialisme dan kapitalisme turut mengglobal dengan bentuknya yang dinamis.

Lihatlah ekonomi Indonesia, sistem politik dan seperangkat aturan yang lahir dalam produk undang-undang hari ini, hampir-hampir tidak lagi senafas dengan jati diri bangsa. Jika kita mau berkata jujur, sebagai sebuah negara, keadaan yang demikian itu telah menyeret Indonesia ke dalam kondisi yang sangat rentan. Mampukah kita menemukan kembali nasionalisme kita?

Penulis: Ketua Pemuda Demokrat Indonesia Kota Bekasi, King Vidor

 

Artikel ini ditulis oleh: