Demo Nelayan Reklamasi
Ratusan nelayan dari berbagai wilayah melakukan aksi penolakan Reklamasi Teluk Jakarta, di Pelabuhan Muara Angke dan di Pulau G, Jakarta Utara, Minggu (17/4/2016). Dalam aksinya mereka menuntut agar seluruh proyek reklamasi di teluk Jakarta dihentikan dan Keppres No. 52 Tahun 1995 dan Perpres 54 Tahun 2008 yang melegitimasi proyek reklamasi dicabut.

Jakarta, Aktual.com – Kini, reklamasi Teluk Jakarta telah diputuskan untuk dimoratorium berdasarkan keputusan bersama antara Menko Kemaritiman, KLHK, KKP dan Pemprov DKI.

Menannggapi keputusan tersebut, sejumlah nelayan meminta kepada pihak pemerintah untuk dapat duduk bersama untuk membicarakan keberadaan reklamasi itu sendiri.

“Seluruh nelayan di Teluk Jakarta, ibu-ibu, pemuda dan tokoh masyarakat diajak duduk saat pemerintah moratorium,” ucap salah seorang nelayan, Kuat di Kantor Sekretariat Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (19/4).

Kuat juga menekankan, proses moratorium itu sendiri harus mencabut izin-izin reklamasi yang terbukti melanggar.

“Pemda DKI atau menteri terkait stop reklamasi, cabut semua izin-izin reklamasi,” tegas Kuat yang juga menjadi Sekjen Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Jakarta.

Lanjut Kuat, awalnya, nelayan sama sekali tidak mengetahui adanya proyek reklamasi 17 pulau. Mereka baru mengetahui sejak terbentuknya pulau reklamasi di wilayah tangkap mereka

“Tempat mereka cari makan sudah jadi pulau. Dua tahun lalu nelayan dapet penghasilan lumayan,” ujar Kuat.

“Nelayan tradisional rugi 36 sampai 60 persen. Bersama nelayan kecil ngitung biaya melaut, penghasilan berapanya sangat sedih sekali,” tambah Kuat.

Senada dengan Kuat, salah seorang tengkulak, M. Hasim menuturkan bahwasanya, ongkos yang harus dikeluarkan nelayan untuk melaut melonjak enam kali lipat. Hal itu diakibatkan nelayan harus mencari wilayah tangkap yang lebih jauh karena reklamasi.

“Saya biasa terima tiga hari sekali. Karena berlayarnya keluar dari wilayah Teluk Jakarta sampai Bekasi, sampai Indramayu, atau sampai di Teluk Banten di sana mereka baru pulang. Solar lima liter, sekarang bisa mencapai 30 liter sampai 40 liter,” sambung Hasim.

Padahal, para nelayan tak perlu jauh melaut, karena sebetulnya, sumber ikan di Teluk Jakarta masih berlimpah ruah. Sayangnya, akibat reklamasi, sumber ikan tersebut hancur karena pengurukan pasir. Hal itu dituturkan oleh nelayan lainnya, Iwan Carmidi.

“Kami sebagai kelompok nelayan tradisional menentang sekali reklamasi. Dan kami mewakili nelayan sangat ingin mencari keadilan karena laut milik nelayan,” tegas Iwan.

Artikel ini ditulis oleh: