Jakarta, Aktual.com — Komisi Pemberantasan Korupsi mendalami temuan uang, yang ditemukan di rumah Sekretaris MA Nurhadi dan panitera-sekretaris Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution.
“Semuanya akan kita kembangkan ke sana kan tapi uangnya apakah ada hubungannya antara uang yang diterima Edy itu dengan uang yang diterima di rumahnya Pak Nurhadi terus kita kembangkan. Bisa saja, tidak ada hubungannya misalnya masing-masing main sendiri di bawah dan di atas, kita tidak mengerti itu, itulah yang akan kita dalami,” kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di gedung KPK, Senin (25/4) malam.
Dia pun mengaku belum mengetahui nilai uang termasuk modus dan hubungan atara Nurhadi dan Edy. Sejauh ini, penyidik KPK masih melakukan pendalaman. “Nilai uang saya belum tahu, bagaimana modusnya dan hubungan Nurhadi dan Edy itu masih diselidiki, di penyidikan saya tidak bisa mengungkapkan apa perannya Nurhadi.”
Dengan demikian KPK hingga saat ini pun belum menetapkan tersangka baru dalam kasus ini, meski Nurhadi pun sudah dicegah bepergian keluar negeri selama enam bulan sejak 21 April.
“Kami pimpinan belum bisa menentukan apa langkah-langkah berikutnya terkait dengan penetapan siapa itu Pak Edy Nasution dan kaitannya dengan Pak Nurhadi masih terus didalami.”
Namun Alexander mengakui salah satu kasus yang terkait dengan perkara ini adalah sengketa bisnis antara PT Direct Vision, yang merupakan bagian dari Lippo Group dengan Grup Astro, korporasi yang berasal dari Malaysia dan Belanda.
PT Direct Vision yang merupakan bagian dari Lippo Group dengan Grup Astro, korporasi yang berasal dari Malaysia dan Belanda. Kedua kelompok bisnis itu pecah kongsi dan masuk ke pengadilan arbitrase Singapura International Arbitration Center (SIAC) dengan putusan Grup Lippo harus membayar ganti rugi 230 juta dolar AS dan Rp6 miliar ke Astro All Asia Network Plc.
Namun atas putusan itu Lippo Group mengajukan pembatalan putusan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tapi kalah hingga tingkat kasasi sehingga Lippo pun mengajukan Peninjauan Kembali.
“Kalau keberlakukan keputusan arbitrase sebetulnya arbitrase Singapura sudah memenangkan Astro, terus salah satu pihak juga mengajukan arbitrase BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia), putusannya kan beda, mana yang dieksekusi itu kan.”
KPK melakukan OTT pada Rabu (20/4) di hotel Accacia Jalan Kramat Raya Jakpus dan mengamankan pansek PN Jakpus Edy Nasution dan seorang swasta Doddy Aryanto Supeno. Penangkapan dilakukan seusai Doddy memberikan uang Rp50 juta kepada Edy dari komitmen seluruhnya Rp500 juta terkait pengurusan perkara di tingkat PK di PN Jakarta Pusat.
KPK menetapkan dua tersangka yaitu Edy Nasution dengan sangkaan pasal 12 huruf a atau huruf b atau pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 64 ayat 1 KUHP jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP tengan penyelenggara negara yang menerima hadiah dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.
Sebagai pemberi suap adalah Doddy Aryanto Supeno dengan sangkaan pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b atau pasal 13 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 64 ayat 1 KUHP jo pasal 55 ayat 1 ke-1 tentang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan ancaman pidana paling singkat 1 tahun dan lama 5 tahun ditambah denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.
Artikel ini ditulis oleh:
Wisnu